REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di seluruh Eropa meningkatkan kerja sama untuk menangani perilaku China yang dinilai agresif dan koersif. Upaya itu dilakukan beberapa hari setelah AS dan sekutunya meluncurkan sanksi terkoordinasi terhadap pejabat China yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi di wilayah Xinjiang di barat jauh.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengatakan ingin bekerja dengan rekan-rekan AS untuk memajukan kepentingan ekonomi bersama. "Dan untuk melawan beberapa tindakan agresif dan koersif China, serta kegagalannya, setidaknya di masa lalu, untuk menegakkan komitmen internasionalnya," ujarnya, Rabu (24/3).
Blinken berbicara setelah pembicaraan di Brussel dengan para menteri luar negeri NATO. Dia berbicara dengan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, tentang meningkatkan ketegangan hubungan dengan China.
"Ketika kita bertindak bersama, kita jauh lebih kuat dan jauh lebih efektif daripada jika salah satu dari kita melakukannya sendiri," kata Blinken.
Blinken mencatat, AS menyumbang sekitar 25 persen dari PDB global dan hingga 60 persen jika digabung dengan sekutunya di Eropa dan Asia. "Itu jauh lebih sulit bagi Beijing untuk mengabaikannya," katanya.
AS, UE, Inggris, dan Kanada memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan pada sekelompok pejabat di Xinjiang pada 22 Maret. China membalas dengan memberikan sanksi kepada 10 orang Eropa, termasuk anggota parlemen dan akademisi, dan empat institusi.