REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang Pleno IV Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah menerima dan mengesahkan hasil Sidang Komisi VI tentang kriteria awal waktu Subuh. Di antaranya ialah mengubah ketinggian Matahari awal waktu Subuh minus 20 derajat yang selama ini berlaku.
Sidang Pleno IV itu juga menetapkan ketinggian matahari awal waktu Subuh yang baru, yaitu minus 18 derajat. Dengan demikian, diamanatkan kepada Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk mengubah perhitungan contoh awal waktu Subuh dengan ketinggian Matahari minus 18 derajat dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah hasil Munas Tarjih ke-27 1431/2010 di Malang, Jawa Timur.
Keputusan itu tercantum di dalam Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 734/KEP/I.0/B/2021 tentang tanfidz keputusan musyawarah nasional XXXI Tarjih Muhammadiyah tentang kriteria awal waktu Subuh. Keputusan ditandatangani oleh Atang Solihin selaku ketua pimpinan Sidang Pleno IV, dan Rahmadi Wibowo selaku sekretaris pimpinan Sidang Pleno IV.
Dalam keputusan tersebut dijelaskan, pengetahuan tentang waktu sholat sangatlah penting, karena mengetahui masuknya waktu salat menjadi dasar sah atau tidaknya salat itu. Para ulama menyepakati, sesuai dengan ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi SAW, bahwa awal waktu sholat Subuh adalah saat terbit fajar sadik.
Hanya saja kapan fajar sadik itu terbit, hal ini menjadi perdebatan yang sejak lama terjadi di kalangan para fukaha dan ulama Islam. Dalam kitab al-‘Urf asy-Syażī bi Syarḥ Sunan at-Tirmiżī, ditegaskan bahwa terbit fajar menurut ulama falak adalah ketika matahari berada di bawah ufuk pada kedalaman 15 derajat.
Namun pandangan itu dibantah oleh Ibn Ḥajar al-Makkī yang menyatakan bahwa terbit fajar bisa lebih cepat dan bisa lebih lambat. Dalam praktik, umat Islam berbeda-beda menentukan saat terbit fajar atau sadik) antara minus 20 derajat sepert di Indonesia, minus 19,5 derajat seperti di Mesir, minus 18 derajat, dan lain-lain.
Di Mesir, Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika Hulwan sejak 1984 menyatakan bahwa waktu Subuh di Mesir terlalu dini. Beberapa kali mengadakan seminar hasil penelitian yang kesimpulannya adalah waktu Subuh minus 14,7 derajat. Namun dalam praktik hingga sekarang Mesir masih tetap mempraktikkan minus 19,5 persen.
Di Indonesia, untuk waktu yang lama, masyarakat mempraktikkan minus 20 derajat. Kemudian muncul tulisan yang dimuat secara serial dalam Majalah Qiblati dan kemudian dibukukan dengan judul Koreksi Awal Waktu Subuh yang menyatakan bahwa awal waktu Subuh di Indonesia terlalu pagi (24 menit sebelum kemunculan fajar sadiq).
Pendapat itu didasarkan pada kesaksian di beberapa lokasi saat azan Subuh terdengar, ketika fajar sadiq belum terbit. Kasus ini akhirnya memperoleh perhatian para pengkaji astronomi Islam di Indonesia untuk mengkaji dan melakukan penelitian tentang awal waktu Subuh.
Selama ini di kawasan anggota MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), Indonesia termasuk yang terpagi dengan ketinggian (altitude) matahari minus 20 derajat jika dibandingkan waktu Subuh di negara-negara lain.
Muhammadiyah sebagaimana dinyatakan dalam Pedoman Hisab Muhammadiyah juga berpedoman bahwa ketinggian matahari untuk Subuh minus 20 derajat. Ini berbeda dari hasil kajian dan penelitian awal waktu Subuh yang menunjukkan ketinggian matahari lebih rendah daripada minus 20 derajat.
Karena itu, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid, yang bersumber kepada Alquran dan As-Sunnah, berkepentingan untuk melakukan kajian dan penelitian awal waktu Subuh dengan memadukan aspek syar'i dan sains agar hasilnya sesuai dengan pesan nash dan perkembangan zaman.