REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan, bahwa pihaknya sudah mengalami berbagai konflik yang mengancam kesolidan partai. Namun, dia melihat, konflik yang terjadi hadir karena adanya kepentingan eksternal yang hadir di dalam internal.
"Soliditas PPP akan selalu terganggu justru lebih banyak ketika ada kepentingan-kepentingan eksternal yang masuk ke PPP. Ketimbang persoalan atau perbedaan faksional yang ada di PPP itu sendiri," ujar Arsul dalam sebuah diskusi daring yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (25/3).
Dia mencontohkan, pada Orde Baru yang mengganggu soliditas PPP, saat terjadi konflik antara Djaelani Naro dan Namu Sudarji. Saat itu, dia melihat, penyebab terjadinya konflik lebih banyak dikarenakan adanya unsur kepentingan eksternal.
"Jadi bukan karena persoalan-persoalan atau gangguan-gangguan, pandangan yang berbeda terkait dengan ideologi partai atau kebijakan partai itu sendiri terkait hal tertentu," ujar Arsul.
Walaupun konflik di PPP tak disebutnya sebagai perpecahan, seperti yang terjadi kepada Partai Golkar, tapi Arsul tak memungkiri bahwa sering terjadinya faksionalisasi di internal. Khususnya pasca Reformasi pada Muktamar di Ancol, ketika adanya dua kubu antara Suryadharma Ali dengan Endin Aj Soefihara.
"Itu juga sedikit banyak mengganggu soliditas dan gangguan terhadap soliditas itu hukumnya terjadi ketika, satu ada peristiwa momen-momen politik di mana PPP sebagai partai politik itu harus terlibat," ujar Arsul.
Konflik di PPP, kata Arsul, juga sering hadir menjelang forum tertinggi partai, dalam hal ini adalah Muktamar. Salah satunya terjadi ketika adanya kontestasi yang berlebihan antara calon ketua umum.
"Jadi secara singkat bisa saya sampaikan bahwa soliditas partai sebagai das sollen itu, apa yang seharusnya kita bangun dan lakukan itu seringkali dalam perjalanan PPP itu masih jauh, masih tidak berkesesuaian das seinnya," ujar anggota Komisi III DPR itu.