Kamis 25 Mar 2021 17:19 WIB

Arsul: Pilpres 2014 Hampir Runtuhkan Soliditas PPP

Konflik di PPP sejak 2014-2017 lebih dahsyat ketimbang dualisme di Partai Golkar.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan, salah satu momen yang yang hampir membuat soliditas internal partai pecah. Momen tersebut terjadi jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Ketua Umum PPP saat itu, Suryadharma Ali yang didukung sejumlah elite partai memutuskan untuk mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014. Sedangkan elite PPP lainnya, seperti Romahurmuziy dan Suharso Monoarfa condong mendukung Joko Widodo.

"Artinya sekali lagi, ini unsurnya lebih karena ada peristiwa di eksternal, kepentingan eksternal yang menarik PPP ke dalamnya. Sehingga, menjadi gangguan yang dalam tahun 2014 sampai 2017 itu sangat luar biasa," ujar Arsul dalam sebuah diskusi daring yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (25/3). 

Arsul menyebut, konflik di PPP sejak 2014 hingga 2017 itu lebih dahsyat ketimbang dualisme yang terjadi di Partai Golkar. Saat itu, ada empat perkara di pengadilan tata usaha negara (PTUN) sampai pada tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung (MA).

"Ada empat perkara di Mahkamah Konstitusi dan ada dua perkara perdata di pengadilan negeri," ujar Arsul.

Meski begitu, hikmah yang diambil ketika perselisihan internal disepakati dan menimbulkan kesadaran bagi kedua pihak untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Ketika semua jalur hukum sudah selesai, maka itulah yang mengakhiri sengketa di Partai berlambang Ka'bah itu.

Demi mengembalikan soliditas PPP, pengurus berkontempolasi dalam Muktamar agar pemilihan ketua umum dilakukan dengan musyawarah mufakat, bukan pemungutan suara. Agar adanya kesepakatan dari semua pihak demi menghasilkan soliditas partai.

"Karena pengalamannya ketika terjadi kontestasi menimbulkan luka atau bekas luka yang lama untuk menyembuhkannya, ini yang kemudian kita sepakati," ujar Arsul.

Selain itu, terdapat kesepakatan, yakni siapapun ketua umum terpilih tak boleh menjadi personifikasi dari PPP. Personifikasi PPP, kata Arsul, adalah lambang Ka'bah.

"Tidak boleh kemudian ketua umum merasa besar, merasa penting sendirian dan kemudian lambang Ka'bah nya ditaruh atau dibelakangkan atau dikesampingkan. Jadi itu kami mulai dari hal-hal yang sederhana saja," ujar Arsul.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement