REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Imigrasi Soekarno-Hatta mengungkap indikasi sindikat visa elektronik palsu untuk masuk ke wilayah Indonesia. Dalam kasus pemalsuan visa elektronik tersebut, Kantor Imigrasi Klas I TPI ( tempat pemeriksaan imigrasi) Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang mengamankan tiga warga negara asing (WNA) asal India. Ketiganya, yakni MK, MJB, dan SKV.
"Mereka datang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, saat melakukan proses pemeriksaan Keimigrasian di Tempat Pemeriksaan Imigrasi didapati ketiganya menggunakan visa elektronik palsu," ujar Kepala Kantor Imigrasi TPI Bandara Soekarno-Hatta Romi Yudianto, Kamis (25/3). Pemeriksaan itu dilakukan pada 22 Februari dan 12 Maret 2021.
Romi menjelaskan, berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan oleh Bidang Intelijen dan Penindakan Keimigrasian (Inteldakim) Kantor Imigtarasi Soekarno-Hatta, diketahui, MK masuk ke Indonesia dengan membayar paket perjalanan sebesar Rp 97 juta. Paket tersebut meliputi penerbitan elektronik visa Republik Indonesia palsu, pengurusan visa Kanada, akomodasi dan tiket perjalanan dari Delhi–Jakarta–Kanada.
Adapun motif MK melakukan perjalanan tersebut lantaran untuk mencari kehidupan yang layak di Kanada. Sementara itu, MJB dan SKV masuk ke Indonesia mengaku membayar Rp 40 juta per orang untuk biaya pengurusan elektronik visa Republik Indonesia dan tiket penerbangan dari Dubai ke Jakarta. Tujuan keduanya masuk ke Indonesia adalah untuk urusan bisnis.
"Hasil pemeriksaan petugas pada sistem permohonan elektronik visa Direktorat Jenderal Imigrasi, nomor visa elektronik yang dipergunakan oleh MK ternyata tercatat atas nama AB yang merupakan warga negara Rusia. Sedangkan untuk MJB dan SKV nomor visa elektroniknya tidak ditemukan dalam sistem," jelasnya.
Romi menuturkan, berdasarkan temuan tersebut, kasus MK, MJB dan SKV melanggar pasal 121 huruf b UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Yang bersangkutan terbukti sengaja menggunakan visa atau tanda masuk atau izin tinggal palsu/ yang dipalsukan untuk masuk, keluar atau berada di wilayah Indonesia, dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan pidana denda Rp 500 juta.