REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut, Polres Metro Jakarta Selatan (Jaksel) mengkriminalisasi dua pengacara warga Pancoran. Hal ini terkait dengan dugaan penggusuran paksa warga Pancoran oleh PT. Pertamina Training & Consulting (PTC).
"LBH Jakarta mengutuk tindakan Polres Metro Jakarta Selatan yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam penangkapan sewenang-wenang, kriminalisasi, dan penghalang-halangan akses bantuan hukum terhadap dua Pemberi Bantuan Hukum Warga Pancoran Buntu II yang terancam digusur paksa oleh PT PTC," kata pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili dalam siaran persnya, Kamis (25/3).
Pengacara warga yang dikriminalisasi itu adalah Safaraldy dan Dzuhrian. Keduanya anggota LBH Jakarta. Mereka sempat diperiksa tanpa surat pemanggilan di Mapolres Metro Jaksel selama delapan jam.
Charlie menjelaskan, upaya kriminalisasi itu bermula dari surat panggilan yang dilayangkan Polres Metro Jaksel untuk 31 warga Jalan Pancoran Buntu II pada 23 Maret. Pemanggilan itu atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan. Pelapornya adalah PT PTC.
"Panggilan tersebut tidak sah secara hukum karena prosedurnya tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP," kata Charlie.
Lalu, pada 24 Maret, warga meminta Safaraldy dan Dzuhrian mengantarkan surat jawaban atas panggilan yang tidak sah terhadap sembilan orang warga Jalan Pancoran Buntu II kepada penyidik di Unit-II Harta-Benda (Harda) Satreskrim Polres Metro Jaksel. Safaraldy dan Dzuhrian lantas mendatangi Mapolres Jaksel pukul 16.00 WIB dan langsung memberikan surat ke penyidik.
"Penyidik kemudian tidak terima atas surat penolakan yang diberikan dan kedudukan kedua pemberi bantuan hukum tersebut," kata Charlie.
Setalah itu, lanjut dia, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap keduanya dengan status sebagai saksi tindak pidana atas Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP dengan disertai berbagai intimidasi. Pemeriksaan itu dilakukan tanpa surat penangkapan maupun panggilan.
Adapun, pihak LBH baru mengetahui dua pengacaranya diperiksa pada pukul 20.00 WIB. LBH langsung mengirimkan tim hukum untuk melakukan pendampingan untuk keduanya. Namun, penyidik tak mengizinkan tim hukum melakukan pendampingan.
"Penyidik juga melarang keduanya untuk menandatangani surat kuasa kepada tim hukum dan tidak mengakui kuasa lisan yang disampaikan keduanya kepada tim hukum. Keduanya baru dapat ditemui dan
dilepaskan setelah pemeriksaan berakhir pada pukul 00.49 WIB, Kamis, 25 Maret 2021," ujar Charlie.
Berdasarkan fakta kejadian itu, lanjut dia, LBH Jakarta menilai penyidik Satreskrim Polres Metro Jaksel telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan berupa penangkapan dan penyitaan secara sewenang-wenang yang melanggar HAM dan konstitusi. Sebab, tindakan pemberi bantuan hukum mengantarkan surat penolakan warga kepada penyidik jelas bukan merupakan tindak pidana dan bahkan dilindungi dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Lalu, para Pemberi Bantuan Hukum dirampas kemerdekaannya tanpa adanya surat penangkapan dan diperiksa sebagai saksi tanpa didahului surat panggilan yang sah yang mana hal tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
"Polres Metro Jaksel juga melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan penghalang-halangan akses pendampingan hukum terhadap kedua pengacara yang berstatus sebagai saksi itu," ujar Charlie.
Kasat Reskrim Polres Metro Jaksel AKBP Jimmy Christian Samma mengatakan, pihaknya tidak melakukan penahanan terhadap Safaraldy dan Dzuhrian. "Tidak ada penahanan. Tidak benar itu informasi penahanan," kata dia kepada Republika, Kamis.
Namun, Jimmy enggan menjawab ketika ditanya hal apa yang dilakukan penyidik kepada dua pengacara LBH itu. Dia juga enggan menjawab ketika dikonfirmasi bahwa dua pengacara publik itu diperiksa dengan Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP.