REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga 2021 pemerintah mengucurkan dana otonomi khusus (otsus) Papua hingga Rp 138,65 triliun. Dana ini meningkat 100 kali lipat sejak dikucurkan pertama kali pada 2002 yang hanya sebesar Rp 1,38 triliun. Ironisnya, dana otsus sebesar itu dinilai belum sepenuhnya menyejahteraan warga Papua.
Sejatinya, dana Otsus ini memberikan sumbangan yang besar bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Papua, yakni mencapai 60 persen dari APBD Papua. Dana Otsus merupakan bukti keseriusann pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan Papua, baik dari segi fisik maupun sumber daya manusia (SDM).
Meski ada dana besar, ada dugaan kasus korupsi dana otsus. Polri menemukan adanya dugaan penyelewangan dan Otsus Papua tersebut. Seperti disampaikan Karo Analis Badan Intelijen Kemanan Polri Brigjen Achmad Kartiko, dana otsus yang diduga dikorupsi mencapai Rp 1,8 triliun. Modus penyalahgunaan dana Otsus diduga dilakukan lewat penggelembungan harga dalam pengadaan barang.
Padahal, menurut Ali Kabiay Wanggai selaku Ketua DPD Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua, pemerintah pusat memberikan Otsus untuk mendorong percepatan pembangunan di empat sektor di Provinsi Papua, seperti infrasttruktur dasar, pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi kerakyatan. Namun, kata Ali, dana tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah daerah Papua.
"Jika digunakan dengan baik, saya yakin Papua akan maju dan sejahtera,” ujar Ali, dalam webinar 'Membongkar Korupsi Otsus Papua', Rabu (24/3).
Ali mengibaratkan pemerintah pusat telah memberikan motor dengan kapasitas mesin yang besar, tetapi motor itu tidak dipergunakan dengan baik untuk mempercepat pembangunan empat sector tersebut. Dia menganalogikan antara Jakarta dan Provinsi Papua. Kedua provinsi itu kini mempunyai kapasitas anggaran yang sama besar. Namun yang terjadi, sejak 2002 pembangunan Papua justru tidak berjalan.
"Ini enggak baik, dan kita terlambat," kata dia.
Ali berkata, kita ambil contoh indeks pembangunan manusia (IPM) yang terdiri angka kelangsungan hidup, kedua pengetahuan, tiga standar hidup. Tapi pada 2012 lalu, Papua mengalami penurunan dalam indek pembanguan manusia itu 60 persen. "Dan itu berbeda jauh sekali dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta,” kata dia.
Kondisi ini, tentu berbanding terbalik dengan dana yang sudah mengucur untuk Papua. Ali menduga kondisi tersebut lantaran tidak ada pengawasan penggunaan dana otsus secara serius. “Ini harus menjadi pekerjaan rumah bersama," kata dia.
Karena itu, bila ada yang menilai program dana otsus itu gagal, sebaiknya dipertanyakan ke orang-orang Papua yang diberi wewenang penuh mengelola dana tersebut. "Sehingga apabila itu gagal, maka yang patut disalahkan adalah orang Papua sendiri. Untuk itu saya pikir negara harus hadir untuk memberantasan penyalahgunaan anggaran yang secara masif di tanah Papua," ujar Ali.
Ali mengingatkan, pemerintah pusat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya berwacana dalam menangani dugaan korupsi dana otsus ini. “Negara harus hadir di Papua. Nah hadirnya pemerintah apa, untuk memberantas korupsi di Papua," kata dia.
Terlebih lagi berdasarakan hasil pemeriksan BPK, banyak temuan penyalahgunaan anggaran Otda dan Otsus untuk Papua. Seperti kasus korupsi oleh simpatisan Papua Merdeka. "Di sini saya mencatat kasus Martinus Wanda Mani, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, berikutnya korupsi dana hibah tahun anggaran 2017," ucap dia.