REPUBLIKA.CO.ID, OLEH Sapto Andika Candra
"Wah malam ini langsung ke situ!!!" Sebuah akun Instagram bernama @lalaursula memberi tanggapan di kolom komentar milik akun 'Dari Halte Ke Halte' (DHKH). Akun yang kerap memberi rekomendasi wisata kuliner di Jakarta itu baru mengunggah serial foto tentang kedai masakan khas Jepang di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Respons warganet cukup hangat, ada 140 tanggapan yang memenuhi kolom komentar.
Visual yang disajikan pun memanjakan mata dan tentu saja menggugah selera. Foto pertama memajang semangkuk hidangan berjuluk creamy miso udon dan satu lagi, brisket udon. Keduanya disajikan di atas mangkuk keramik cantik yang besebelahan dengan setumpuk kartu bertuliskan huruf kanji.
Sementara foto kedua hingga keempat menampilkan suasana di luar dan di dalam kedai, lengkap dengan dekorasi ruangan yang kental bernuansa Negeri Sakura. Akun DHKH pun berhasil menyeret minat follower-nya untuk sejenak membayangkan nikmatnya kuah ramen, segenggam onigiri, hingga sepotong gyoza hangat yang dijajakan di Futago Ya @goutago, kedai masakan khas Jepang yang ditampilkan di foto tersebut.
Biasanya dalam unggahan-unggahan terkait lokasi wisata kuliner, warganet akan ramai bertanya tentang lokasi atau cara menuju ke sana. Ya tentu saja selain pertanyaan-pertanyaan lain tentang harga makanan atau bagaimana rasanya.
Untuk menjawab rasa penasaran warganet ini, DHKH punya cara yang cukup menarik. DHKH selalu menyelipkan penjelasan tentang cara menuju lokasi kuliner dengan menggunakan moda transportasi umum. Bisa dengan Moda Raya Terpadu (MRT), KRL Commuter Line, atau Bus Trans Jakarta.
Dalam unggahan Futago Ya di Blok M di atas, HalteMin, sebutan bagi pengelola akun DHKH, menggunakan MRT sebagai moda trasportasi penunjang. Kebetulan lokasi kedai memang tidak jauh dari stasiun MRT.
"Enggak terasa sampai di Stasiun MRT Blok M. Dari pintu keluar F, HalteMin berjalan lurus ke arah Mal Blok M sambil mendengarkan lagu Lemon-nya Kenshi Yonezu. Baru setengah lagu, sudah sampai di Futago Ya, yang artinya Kedai Si Kembar ini," tulis HalteMin dengan kreatif.
Dengan cara ini, warganet punya patokan yang jelas untuk menuju lokasi wisata kuliner yang dituju. Cukup naik MRT di stasiun ini, turun di stasiun MRT itu, kemudian jalan kaki sekian ratus meter untuk mencapai seporsi masakan yang didamba. DHKH pun berhasil menggiring follower-nya untuk ramai-ramai memanfaatkan moda transportasi umum. Sederhana, tapi mengena!
"Makasih min sudah kasih detail jalannya dari pintu MRT," tulis akun @nurfitasri, juga di dalam kolom komentar DHKH.
Kedai Futago Ya sendiri hanyalah salah satu di antara sekian banyak titik wisata kuliner yang dipromosikan oleh akun DHKH. Dan banyak di antaranya, berada di sekitar stasiun MRT Jakarta. DHKH menyadari bahwa keberadaan MRT Jakarta menambah opsi bagi warga kota untuk bergerak dari satu titik ke titik lain dengan nyaman. Atau sekadar sarana rekreasi dari penatnya suasana pekerjaan.
Bowo, penggagas akun Dari Halte Ke Halte, mengungkapkan kepada Republika bahwa MRT Jakarta punya peran besar dalam mendukung keberadaan UMKM di ibu kota, khususnya yang berada di sekitar stasiun. MRT, ujar Bowo, memberi opsi tambahan bagi masyarakat untuk menuju lokasi-lokasi favoritnya.
"Contoh paling nyata adalah Warung Pecel Boma. Sejak dipromosikan DHKH, warung yang tadinya di bawah stasiun MRT Haji Nawi ini antre banyak orang karena kemudahan akses transportasinya," ujar Bowo.
Lihat postingan ini di Instagram
Bahkan ketika Warung Pecel Boma saat ini sudah pindah ke lokasi yang jaraknya 200 meter dari stasiun MRT Cipete, pengunjungnya tetap ramai. Kemudahan akses dengan ratangga dianggap punya andil cukup besar dalam mendorong geliat ekonomi di kawasan sekitar stasiun.
Deretan surga kuliner di sekitar stasiun MRT tak berhenti di Warung Pecel Boma. Republika mencatat, ada banyak sajian yang layak dicicip lainnya, seperti Mie Gaul Senayan ex Hang Lekir yang bisa diakses dari stasiun MRT Gelora Bung Karno atau Senayan. Kemudian ada Lontong Medan Bang Andi yang tak jauh dari stasiun MRT Lebak Bulus.
Pilihan lainnya, ada Mie Keriting Mas Puji Benhil yang bisa dijangkau dari stasiun MRT Bendungan Hilir. Dari stasiun yang sama, sajian lain yang bisa dijajal adalah Bopet Mini Benhil dengan berbagai pilihan masakan khas Minang.
Ingin yang segar-segar? Ada Yogurt House yang jaraknya tak jauh dari stasiun MRT Haji Nawi. Atau makanan hangat seperti bakwan Pontianak? Bisa mampir di kedai yang letaknya tak jauh dari halte MRT Bundaran HI. Nah, kalau tiba-tiba rindu masakan Sunda, bisa berkunjung ke Warung Teteh yang posisinya tidak jauh dari stasiun MRT Blok A.
Masih penasaran dengan pilihan lainnya? Coba saja ketik di mesin pencari dengan kata kunci 'kuliner MRT'. Otomatis puluhan artikel yang mengulas berbagai sajian makanan dan minuman yang dijual di sekitar stasiun MRT bermunculan.
Tak terhitung pula berapa banyak kedai kopi yang pamornya ikut terdongkrak karena keberadaan MRT. Amanda (30 tahun) misalnya, seorang pekerja swasta yang tinggal di Jakarta Pusat. Saat akhir pekan tiba, sesekali ia berkunjung ke sebuah kedai kopi kecil di samping stasiun MRT Haji Nawi, Jakarta Selatan. Hal ini tentu jarang ia lakukan saat layanan ratangga belum tersedia.
Tak jarang, Amanda mengaku, dirinya bersama kawan-kawannya sengaja membuat janji bertemu di stasiun MRT Cipete Raya untuk kemudian berjalan kaki menuju Warung Bu Kris yang berjarak sekitar 300 meter dari sana. Menu masakan Jawa Timuran yang dijual di sana cukup jadi obat kangen baginya yang jarang pulang kampung selama pandemi ini.
"Keberadaan MRT memang terbukti memunculkan kantong-kantong ekonomi baru di sekitar stasiun. Seperti di Blok M misalnya. Dulu sempat agak sepi. Tapi setelah ada stasiun MRT di sana, kawasan tersebut jadi favorit lagi," ujarnya.
MRT, imbuh Amanda, memang punya peran penting bagi masyarakat ibu kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Pilihan moda transportasi yang beragam semakin memudahkan warga untuk bergerak dengan nyaman. Namun, menurutnya, ada baiknya MRT mulai meniru KRL yang cukup gencar melakukan pengembangan berorientasi transit (TOD).
"KRL kan sudah cukup bagus pemetaan TOD-nya. Ada apartemen ada pasar. Nah MRT ini PR-nya ya sediakan kantong-kantong parkir. Mungkin itu cara agar mendorong warga lebih tertarik naik MRT," kata Amanda yang sudah menjadi pengguna MRT sejak pertama kali diresmikan pada 2019 lalu.
Cara sederhana mempromosikan kuliner ibu kota dengan mengintegrasikannya dengan opsi transportasi publik terbukti ampuh menggerakkan ekonomi. MRT seolah tidak lagi sekadar moda transportasi, namun menjadi jembatan perubahan gaya hidup warga ibu kota yang lebih baik.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun punya pandangan yang menarik mengenai keberadaan MRT Jakarta. Menurutnya, MRT menjadi bagian dari perubahan menuju kemajuan transportasi di Jakarta. Bagi Jakarta, ujarnya, MRT ini lebih dari sekadar alat pemindah badan, dari satu tempat ke tempat lain.
"Tapi ini menjadi sebuah media untuk membangun perasaan kesetaraan, media membangun peraasaan persatuan, dan media untuk menumbuhkan kebiasaan baru. Kebiasaan disiplin, kebiasaan tepat waktu, kebiasaan menghormati, kebiasaan untuk berbagi," kata Anies dalam unggahannya di akun media sosialnya, Rabu (24/3).
MRT Jakarta, imbuh Anies, menambah luas ruang ketiga bagi warga ibu kota dan wilayah penunjangnya. Ruang pertama adalah rumah dan tempat tinggal. Ruang kedua adalah tempat kerja dan tempat mencari nafkah.
"Nah ruang ketiga adalah ruang bersama di antara keduanya. Dan MRT menjadi salah satu fasilitator ruang ketiga yang mendorong kemajuan di sana," kata Anies.
Sementara itu, Direktur Utama PT MRT Jakarta (Perseroda) William Sabandar menambahkan, perusahaan daerah yang usianya masih muda ini membawa mimpi yang cukup besar. MRT Jakarta, ujar William saat berkunjung ke stasiun Bundaran HI, Rabu (24/3), ingin membawa perubahan yang baik bagi warga ibu kota. Khususnya dalam membangun budaya bertransportasi yang semakin unggul.
"Nama ratangga sebetulnya kereta perang dalam kitab Sutasoma, menggambarkan semangat dan kekuatan untuk melawan keterbelakangan. Kenapa kita memilih ratangga, karena kami melihat MRT ini adalah semangat kita untuk memperbarui, membuat Jakarta lebih baik dan mendorong perubahan," ujar William menjelaskan makna ratangga yang sejalan dengan visi MRT Jakarta.
Adanya pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu memang sempat memukul seluruh aspek ekonomi ibu kota, bahkan nasional hingga dunia. MRT Jakarta yang tadinya mampu menyedot penumpang sampai lebih dari 80.000 orang per hari, lantas hanya melayani 1.500 penumpang saja pada Mei 2020.
Namun kondisinya sudah semakin membaik. Catatan MRT Jakarta mulai awal 2021 ini, satu rangkaian ratangga bisa mengangkut 20.000-25.000 penumpang setiap harinya.
"Tapi semangat tetap ada dan hari ini Alhamdulillah MRT mulai semarak lagi. Vaksinasi sudah dilakukan, hari ini juga sudah dilakukan vaksinasi untuk petugas MRT Jakarta," kata William.
Perjalanan bagi MRT Jakarta masih sangat panjang. Perusahaan daerah ini sedang merampungkan penggarapan rute MRT fase II yang memanjang dari Bundaran HI sampai Ancol Barat. Jika seluruh jalur ini tercapai, niscaya semakin banyak lagi spot-spot kuliner yang semakin dikenal khalayak luas. Semakin erat pula hubungan romantisme warga ibu kota dengan deret kedai yang menjajakan sajian menggugah selera di sekitar stasiun MRT.