Jumat 26 Mar 2021 08:11 WIB

Pemerintah Jaga Fundamental Akibat Kebijakan AS

Salah satu upaya jaga fundamental ialah menjaga porsi kepemilikan surat utang.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Pemerintah Indonesia akan bekerja keras menjaga fundamental ekonomi agar tidak jatuh di tengah gejolak pasar keuangan dan ekonomi global.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pemerintah Indonesia akan bekerja keras menjaga fundamental ekonomi agar tidak jatuh di tengah gejolak pasar keuangan dan ekonomi global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia akan bekerja keras menjaga fundamental ekonomi agar tidak jatuh di tengah gejolak pasar keuangan dan ekonomi global. Hal yang menjadi pemicunya dari perubahan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat hingga wacana terulangnya imbas pengetatan moneter (taper tantrum) seperti yang terjadi pada 2013.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebijakan Amerika Serikat yang membuat gejolak di pasar keuangan dan ekonomi berupa pemberian stimulus fiskal senilai 1,9 triliun dolar AS. Adapun stimulus ini diberikan pada era pemerintahan presiden baru, Joe Biden.

Baca Juga

“Indonesia secara jelas masih terdampak spillover kebijakan yang terjadi di Amerika Serikat atau China, tapi kita akan terus mengembangkan fundamental ekonomi sehingga bila spillover terjadi, tidak ada merusak atau membuat ekonomi kolaps," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (26/3).

Sri Mulyani menyebut salah satu dampak yang muncul dari pemberian stimulus fiskal ini adalah tingkat imbal hasil (yield) surat utang AS, US Treasury, yang meningkat. Menurut catatannya, yield US Treasury untuk tenor 10 tahun naik sekitar 85 persen dari 0,92 persen menjadi 1,7 persen dari kurun waktu 1 Januari sampai 19 Maret 2021.

“Kenaikan yield obligasi dari Negeri Paman Sam ikut mengerek yield surat utang dari negara-negara lain. Misalnya, yield surat utang Filipina misalnya, naik 48 persen,” ucapnya.

Baca juga : Peristiwa Militer yang Tunjukkan Iran tak Bisa Diremehkan

Begitu juga dengan Brasil dan Rusia yang sama-sama naik 29 persen. Tapi, Indonesia masih 'untung' karena kenaikan yield cuma berkisar 11 persen sejak yield US Treasury meroket. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi modal bagi prospek ekonomi Indonesia ke depan agar tidak jatuh saat gejolak terjadi karena mencerminkan fundamental yang terjaga dari ekonomi Tanah Air.

"Yield obligasi kita hanya naik 11 persen, meski spread-nya mengetat. Tapi artinya, pemegang surat utang kita bisa merasa lebih aman dengan obligasi Indonesia dan kami akan menjaga kepercayaan mereka dengan kebijakan kita," ucapnya.

Lebih lanjut, terkait wacana taper tantrum 2013 akan kembali terulang, bendahara negara itu memastikan setidaknya Indonesia memiliki fundamental yang lebih baik. 

“Salah satunya tecermin dari porsi kepemilikan surat utang Indonesia oleh asing saat ini,” ucapnya.

Menurut catatannya, jumlah kepemilikan surat utang Indonesia oleh asing di bawah 30 persen pada saat ini. Adapun jumlah ini, katanya, lebih rendah dari saat kondisi taper tantrum 2013 lalu.

"Kepemilikan obligasi Indonesia oleh asing sudah turun dari masa taper tantrum sekitar 38 persen, sekarang di bawah 30 persen, dan saat ini kami terus meningkatkan basis investor domestik dari sisi ritel dan institusi," ucapnya.

Menurutnya, kepemilikan surat utang oleh investor dalam negeri bisa memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Selain itu, terkait inflasi, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu mengeklaim inflasi belum menjadi kekhawatiran pemerintah, meski pemulihan ekonomi terjadi.

Baca juga : Beredar Info 5 Personel TNI Tewas di Nduga, Ini Bantahannya

“Inflasi Indonesia masih terbilang rendah, yaitu 0,36 persen secara tahun berjalan dari Januari-Februari 2021. Inflasi yang rendah ini bagus, tapi problematik juga untuk proses pemulihan,” ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement