Oleh : Nidia Zuraya*
REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia menjadi sorotan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD menyoroti pendapatan perpajakan Indonesia yang rendah dibanding negara anggota G20.
Hasil Survei Ekonomi OECD Indonesia terbaru menyebutkan pada 2018, dengan jumlah orang yang membayar pajak penghasilan (PPh) kurang dari delapan juta orang, artinya rasio perpajakan Indonesia terhadap PDB hanya 11,9 persen. Angka rasio pajak ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata negara OECD sebesar 34,3 persen
Mengapa rasio pajak di Indonesia bisa sangat rendah? Menurut Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria, Indonesia memiliki kepatuhan pajak yang buruk dan terlalu murah hati dalam memberikan pengecualian dan diskon pajak.
Pandangan Gurria ini seakan membenarkan apa yang terjadi di lapangan saat ini. Pada tahun 2020, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan stimulus pajak. Antara lain PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) untuk pekerja manufaktur, fasilitas PPh final tarif 0,5 persen untuk sektor UMKM yang ditanggung pemerintah, relaksasi PPh Pasal 22 Impor, pengurangan PPh Pasal 25 sebesar 30 persen, dan penghapusan batas restitusi PPN dipercepat.
Stimulus ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 23/2020 tentang Insentif Pajak untuk WP Terdampak Wabah Virus Corona. PMK ini berlaku efektif per 1 April 2020.
Memasuki tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang insentif pajak sebagai dampak pandemi Covid-19 hingga 30 Juni 2021, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2021.
Tak hanya memperpanjang kebijakan insentif pajak yang sudah berjalan sejak April 2020, pada tahun ini juga memperluas jangkauan jenis pajak yang mendapatkan pengurangan atau diskon. Secara bertahap, mulai 1 Maret 2021, pemerintah memberikan keringanan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor.
Selain keringanan PPnBM kendaraan bermotor, pemerintah juga memberikan keringanan PPN pembelian rumah baru. Padahal saat ini negara sedang menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk menangani pandemi Covid-19. Di sisi lain, tidak ada yang bisa memprediksi dengan tepat kapan pandemi Covid-19 benar-benar akan berakhir.
Pemerintah mencatat defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp 63,6 triliun per akhir Februari 2021. Hal ini disebabkan penerimaan negara hanya Rp 219,2 triliun sedangkan belanja mencapai Rp 282,7 triliun.
Untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanganan Covid-19 tentunya tidak bisa sepenuhnya mengandalkan dana pinjaman luar negeri ataupun dana dari penerbitan surat berharga negara (SBN) ataupun SBN syariah. Selain dari utang, keuangan negara ini dibiayai dari penerimaan pajak.
Selama pandemi anggaran belanja pemerintah membengkak karena terserap untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pada tahun ini saja, pemerintah sudah tiga kali menaikkan anggaran PEN.
Pada awal 2021 pemerintah telah mematok anggaran PEN sebesar Rp 372,3 triliun. Kemudian alokasi anggaran PEN direvisi menjadi Rp 688,3 triliun dan kini anggaran PEN kembali dinaikkan menjadi Rp 699,43 triliun.
Porsi terbesar anggaran PEN tahun 2021 dialokasikan untuk program dukungan UMKM, pembiayaan korporasi dan insentif usaha yakni sebesar Rp 240,7 triliun. Kemudian disusul pos anggaran kesehatan sebesar Rp 176,3 triliun, perlindungan sosial (Rp 157,4 triliun) dan program prioritas (Rp 125,1 triliun).
Porsi anggaran belanja untuk program PEN di tahun 2021 ini di luar kebutuhan anggaran infrastruktur yang nilainya mencapai Rp 414 triliun. Dengan anggaran PEN dan infrastruktur yang besar ini tentunya bakal membuat angka defisit kas negara di pengujung tahun bakal lebih membengkak dari posisi akhir Februari sebesar Rp 63,6 triliun.
Untuk menambal pos pengeluaran, sejak awal tahun ini pemerintah menerbitkan surat utang besar-besaran. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat kepemilikan SBN Rupiah yang diperdagangkan per 1 Maret 2021 kategori asuransi dan dana pensiun pada SUN sebesar Rp 424,82 triliun dan SBSN sebesar Rp 146,56 triliun. Sedangkan reksadana pada SUN sebesar Rp 108,21 triliun dan pada SBSN sebesar Rp 56,79 triliun.
Namun, dana yang dihimpun dari penerbitan surat utang tidaklah cukup untuk membiayai ....
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement