Di wilayah perbatasan antara Thailand dan Myanmar, anggota kelompok etnis Karen telah berjuang melawan tentara Burma selama beberapa dekade. Sementara sejak kudeta bergulir di Myanmar pada awal Februari lalu, wilayah perbukitan itu kembali menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang menentang rezim militer.
Menurut Padoh Saw Taw Nee, Kepala Departemen Luar Negeri Serikat Nasional Karen, yang menyediakan makanan dan tempat tinggal bagi warga Myanmar yang melarikan diri, mengatakan saat ini ada lebih dari 2.000 pengungsi yang tinggal. "Kebanyakan dari mereka adalah anak muda,” ujarnya kepada DW. "Ada beberapa dokter; yang lainnya adalah jurnalis, pengacara, anggota parlemen, dan juga orang-orang yang telah meninggalkan polisi dan militer."
Seorang pengungsi yang meninggalkan Yangon dua minggu lalu mengatakan kepada DW bahwa dia telah melarikan diri ketika keadaan menjadi "terlalu berisiko."
"Saya takut diculik oleh tentara setiap malam," katanya. Dia menambahkan bahwa gerakan perlawanan dapat "diatur ulang" di wilayah perbatasan karena adanya akses internet melalui jaringan Thailand.
Tentara telah memblokir internet di Myanmar untuk mencegah pengunjuk rasa berorganisasi secara online.
'Serangan besar-besaran'
Setelah pemberontakan rakyat terjadi tahun 1988, ribuan pengunjuk rasa melarikan diri ke perbukitan Karen. "Pada saat itu, tentara melancarkan serangan besar-besaran dan kami kehilangan sebagian besar wilayah kami," kata Taw Nee. "Sekarang, sejarah berulang dengan sendirinya."
Dia mengatakan pasukan dari Myanmar telah mencoba masuk ke sebuah kamp di mana anggota "gerakan pembangkangan sipil" tinggal. Tentara pemberontak berhasil mencegah 200 tentara dan delapan truk masuk, tetapi lima jam kemudian 200 tentara lainnya muncul dan mendesak masuk. "Kami menjelaskan kepada mereka bahwa akan ada pertempuran jika mereka masuk," ucap Taw Nee.
"Kami sedang mempersiapkan yang terburuk," tambahnya. "Kami akan melancarkan negosiasi dan bertemu dengan pihak berwenang Thailand, Badan Pengungsi PBB dan ICRC karena KNU tidak akan mampu mengatasi masalah ini sendiri untuk waktu yang lama."
Thailand membentengi perbatasan
Di Thailand, persiapan sedang dilakukan untuk masuknya gelombang pengungsi dari Myanmar. Di kuil Tao Tahn di Sangkhlaburi, yang berjarak sekitar 300 kilometer barat laut ibu kota Bangkok, ada tumpukan piring plastik dan peralatan makan yang menumpuk di ruang sembahyang.
"Kami siap menerima sekitar 760 pengungsi," kata biksu Chatchai, yang pernah melakukan ini sebelumnya dan merupakan keturunan Karen. "Kami telah menerima banyak orang Karen di masa lalu, yang sekarang sudah kembali ke desa mereka."
Pemerintah Thailand sedang melakukan segala upaya untuk mencegah kejadian itu. Daerah perbatasan barat sepanjang 2.000 kilometer di negara itu saat ini diblokir karena pandemi virus corona dan diawasi lebih intensif sejak terjadinya kudeta di Myanmar.
"Tidak diketahui berapa banyak orang yang melintasi perbatasan," kata Letnan Itthipon, dari kantor polisi Sangkhkaburi di provinsi Kanchanaburi.
Phak Poom, seorang pejabat di desa perbatasan Ban Kao di provinsi yang sama, membenarkan hal ini: "Situasi politik berarti ada lebih banyak orang yang datang dari Myanmar. Perbatasan terlalu panjang untuk dikontrol dengan mudah. Kami hanya dapat menangkap orang secara acak atau jika kami mendapat perintah."
Adanya hukum suaka
Penjaga di perbatasan telah menangkap orang-orang hampir setiap hari. Ratusan orang telah ditangkap, termasuk puluhan orang dari kelompok etnis Rohingya. "Kami mengirim hampir semuanya kembali ke Myanmar," kata Itthipon kepada DW.
Pemerintah Thailand membenarkan tindakannya sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19. Negeri gajah putih ini juga tidak menandatangani konvensi pengungsi tahun 1951, berdasarkan undang-undang suaka yang merujuk pada "orang asing ilegal" dapat ditangkap dan dideportasi kapan saja.
"Pihak berwenang Thailand harus berhenti mendorong kembali orang-orang yang melarikan diri dari Myanmar," kata Bill Frelick, Direktur Hak Pengungsi dan Migran di Human Rights Watch, dalam sebuah pernyataan. "Pemerintah Thailand harus segera mengizinkan semua pencari suaka yang melarikan diri dari tindakan keras di Myanmar untuk mengakses perlindungan yang sangat dibutuhkan."
Apa yang menanti para pengungsi?
Pada awal Maret, pihak berwenang Thailand mengumumkan kepada media bahwa stadion sepak bola, sekolah, dan situs lain telah disiapkan untuk menyambut kehadiran pengungsi dari Myanmar.
Tentara juga membangun tiga tempat penampungan sementara di provinsi selatan Chumphon dan Ranong. Mayor Jenderal Santi Sakuntak mengatakan mereka akan dipulangkan setelah situasi kembali "normal" dan tidak ada kamp permanen yang akan dibangun.
Tidak ada yang tahu persis berapa banyak orang yang tinggal di pemukiman tidak resmi, yang tersebar di perbukitan dan hutan di daerah perbatasan Thailand. Salah satunya adalah Moe, seorang biarawan Karen yang melarikan diri dari kediktatoran militer setelah pemberontakan 1988. "Saya telah tinggal di Thailand selama 30 tahun dan saya masih belum bisa bergerak dengan bebas," katanya.
Moe bekerja selama beberapa tahun di sebuah pabrik kain di Bangkok sebelum kembali ke wilayah perbatasan. "Saya tidak perlu khawatir tentang apa pun di sini," katanya. "Orang-orang mengenal saya dan sekitar setengah dari penduduk tidak memiliki surat-surat. Saya berharap suatu hari saya dapat mengunjungi putra saya dan teman-teman saya di Bangkok tanpa takut ditangkap."
Untuk saat ini, kecil kemungkinan Thailand akan mengubah kebijakan suaka. Pemerintah militer yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada tahun 2014, mengatakan akan melakukannya, tetapi sejauh ini belum ada tindakan lanjutan. (ha/vlz)