REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- MRT (Moda Raya Terpadu) bukan hanya sekadar alat transportasi masyarakat di Ibu Kota. Melalui MRT, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ingin mendorong masyarakat memiliki kebiasaan baru untuk menggunakan transportasi umum, berjalan kaki, serta bersepeda.
Kebijakan teranyar, MRT memperbolehkan penumpang membawa sepeda nonlipat ke dalam rangkaian Ratangga. Sedangkan, sepeda lipat memang sudah diizinkan menumpang di berbagai transportasi umum lainnya, seperti TransJakarta dan KRL.
Pada perayaan hari ulang tahun (HUT) kedua MRT, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menjajal langsung menaiki Ratangga dengan membawa sepeda nonlipat atau sepeda penuh, Rabu (24/3). Aktivitas pagi Anies bersama Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria itu diunggah di akun Instagram @aniesbaswedan.
Dalam video, Anies dan Riza seolah-olah sedang mencontohkan kepada masyarakat cara menaiki MRT dengan membawa sepeda nonlipat. Mereka memulai perjalanan dari Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sampai Stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat.
Keduanya mendorong sepeda masing-masing di lajur khusus berwarna biru yang sudah disediakan bagi para pesepeda saat menaiki maupun menuruni anak tangga di stasiun MRT. Tak sembarangan, sepeda nonlipat pun hanya diperkenankan naik di gerbong belakang, tanda atau sudah disiapkan MRT Jakarta bag para pesepeda.
Riza mengatakan, Pemprov DKI mendukung masyarakat pengguna sepeda agar dapat menggunakan sepeda untuk melakukan kegiatan di luar rumah, pergi bekerja, atau aktivitas lainnya. Sehingga, sepeda tak hanya dimanfaatkan untuk berolahraga, juga sebagai alat transportasi di Ibu Kota.
"Kami pemprov memberikan dukungan yang terbaik bagi masyarakat Jakarta yang pengguna sepeda, untuk dapat menggunakan sepeda ke kegiatan ke luar, ke kantor, ke tempat tempat usaha lainnya. Agar polusi udara kita semakin baik, semakin biru langit kita, dan juga ramah lingkungan dan sebagainya," ujar Riza.
Kebijakan diperbolehkannya sepeda nonlipat baik MRT mulai diluncurkan hanya di tiga stasiun, yakni Lebak Bulus, Blok M, dan Bundaran HI. Pesepeda juga perlu mentaati aturan yang berlaku, antara lain, sepeda nonlipat yang diizinkan masuk MRT tidak melewati dimensi 200 sentimeter x 55 sentimeter x 120 sentimeter dengan lebar ban maksimal 15 sentimeter.
Sepeda dengan dimensi melebihi ketentuan tersebut dan sepeda tandem tidak diizinkan masuk Ratangga. Untuk menghindari terjadinya penumpukan penumpang, MRT Jakarta menerapkan waktu ketersediaan akses sepeda nonlipat, yaitu Senin-Jumat di luar jam sibuk pukul 07.00-09.00 WIB dan pukul 17.00-19.00 WIB, serta Sabtu-Ahad mengikuti jam operasional MRT.
Penumpang MRT Jakarta, Rezky Aprilia (30), mengaku tak keberatan dengan kebijakan baru tersebut. Asal, MRT Jakarta tegas menegakkan aturan-aturan atas diperbolehkannya sepeda nonlipat masuk kereta tanpa menggangu kenyamanan, keamanan, dan keselamatan penumpang.
"Buat saya yang penumpang biasa, kalau satu gerbong itu banyak yang bawa sepeda bisa sampai 10 gituu misalnya ya, terganggu juga," kata Rezky kepada Republika, Jumat (26/3).
Rezky menumpang MRT dari rumahnya di Jakarta Selatan ke kantornya di Jakarta Pusat. Akan tetapi, di masa pandemi Covid-19, ia terhitung jarang ke kantor, karena bekerja dari rumah.
Menurut dia, hal itu juga dilakukan para pekerja di Jakarta, sehingga ketika jam sibuk kerja, Ratangga lebih lowong dibandingkan jam kerja sebelum terjadi pandemi virus corona. Meskipun protokol kesehatan jaga jarak diberlakukan, penumpang tetap kebagian tempat duduk.
Turunnya jumlah penumpang telah dikonfirmasi Direktur Pengembangan Bisnis PT MRT Jakarta Farchad Husein Mahfud. Pada Mei 2020, jumlah penumpang yang diangkut MRT hanya 1.500 orang per hari.
Padahal, pada 2019, rata-rata tingkat penumpang MRT Jakarta mencapai 80 ribu per hari. Angka ini masih dialami MRT Jakarta pada Januari dan Februari 2021, sebulan sebelum pandemi Covid-19 ditemukan di Indonesia, dengan rata-rata tingkat penumpang 88 ribu orang per hari.
Namun, pada Maret 2021, Farchad melihat tanda-tanda penumpang harian MRT Jakarta mulai meningkat, 20 ribuan atau hampir mendekat 25 ribu orang per hari pernah tercatat. Menurutnya, peningkatan penumpang MRT menyusul perkembangan kasus Covid-19 di Jakarta yang menurun dan program vaksinasi sudah digencarkan.
Kendati demikian, pihaknya terus mengampanyekan MRT Jakarta aman untuk semua. Hal ini dilakukan demi mendorong semakin banyak orang naik MRT dengan tetap menjaga protokol kesehatan Covid-19.
"Dan protokol itu betul-betul dijaga di MRT, rekan-rekan semua bisa lihat bagaimana MRT menjaga betul protokol tersebut, baik di stasiun, di Ratangga, maupun di wilayah sekitarnya," kata Farchad.
Ketidakpastian jumlah penumpang MRT Jakarta menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus, dalam hal pemberlakuan sepeda nonlipat masuk kereta. Ia juga mempunyai beberapa catatan untuk MRT berdasarkan pengalamannya bertahun-tahun membawa sepeda lipat ke kereta rel listrik (KRL).
Ia mempertanyakan, apakah MRT Jakarta telah melakukan kajian secara komprehensif untuk memperbolehkan sepeda nonlipat masuk ke rangkaian kereta atau tidak. Agar berlaku jangka panjang, MRT Jakarta perlu memikirkan penerapan kebijakan ini ketika jumlah penumpang harian mulai kembali normal, saat warga mulai bekerja ke kantor.
Meskipun aturan sudah dibuat, persoalan kerap kali terjadi di lapangan. Sehingga, kata Alfred, MRT Jakarta pelu memastikan kebijakan ini tidak berhenti di tengah jalan karena timbulnya permasalahan.
"Kebijakannya bagaimana, kebijakannya berlanjut, sustainable atau memang cuma parsial. Semoga saja semua bisa terintegrasi," kata Alfred saat dihubungi Republika, Jumat.
Ia menceritakan konflik yang pernah dialaminya maupun rekannya ketika membawa sepeda lipat ke KRL, mulai dari cibiran, adu mulut, hingga berkelahi fisik. "Memang kereta punya nenek moyang lho," begitu contoh ejekan yang dilontarkan penumpang kepadanya.
Alfred memang memahami hak ruang publik bagi penumpang transportasi umum. KRL maupun MRT Jakarta utamanya ialah angkutan orang, jadi ketika ada penumpang yang membawa sepeda lipat ke kereta, keberatan karena terganggu bisa timbul dari penumpang lainnya.
Meskipun kebijakannya memang memperbolehkan sepeda lipat masuk rangkaian kereta, konflik antarpenumpang tak bisa dihindari ketika penumpang di dalamnya sedang ramai. Hal ini yang tidak diinginkan Alfred terjadi di MRT Jakarta.
"Kalau penumpang sudah normal, kebijakannya bagaimana, siapa yang mengurus konfliknya, siapa yang bisa meredam konfliknya," tutur Alfred.
Ia menuturkan, solusinya MRT Jakarta bisa menyediakan tempat penitipan sepeda yang layak dan terjamin keamanannya. Tak apa jika berbayar, asal pesepeda tidak khawatir akan sepedanya hilang atau rusak.
Dengan demikian, menurut dia, masyarakat yang menggunakan sepeda untuk first mile (perjalanan dari tempat asal menuju tempat transit transportasi massal) dapat terakomodasi dengan maksimal. Begitu pula dengan last mile di tempat tujuan juga disediakan dengan baik.