REPUBLIKA.CO.ID, Begitu banyak kisah cinta yang berakhir dengan kejayaan. Tidak sedikit mereka yang menempati finis sebagai pecundang. Sebagai suatu hal berbasis perasaan, cinta bisa menenggelamkan pelakunya dalam palung terdalam. Cinta bisa membuat seseorang tertekan dan stres tak berkesudahan. Dari cinta pula, timbul karya-karya adiluhung yang bisa kita saksikan hingga sekarang.
Ibnu Qayyim al Jauziy dalam Taman Pencinta (Raudhah al-Muhibbin ) mengungkapkan, ada banyak pendapat mengenai cinta. Umumnya, pendapat itu terbagi dua golongan besar. Apakah cinta merupakan hasil inisiatif sendiri dan diupayakan atau karena ketetapan di luar manusia.
Kasus pria tergila-gila kepada perempuan sudah terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Dalam salah satu hadis shahih yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dari jalur Barirah, disebutkan tentang kisah antara Mughits dan Barirah yang tak pernah padam meski keduanya sudah bercerai. Mughits selalu menguntit Barirah meski sudah tak berstatus suami istri. Air matanya kerap meleleh akibat kebesaran cintanya itu.
Mendengar kisah itu, Rasulullah SAW bersabda kepada Abbas. “Hai Abbas, tidakkah kau mengagumi besarnya cinta Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?” Nabi yang mulia pun menyampaikan pesan kepada Barirah. “Mungkinkah kau rujuk lagi kepada Mughits?” Barirah menjawab, “Apakah baginda menyuruhku untuk rujuk?” Beliau bersabda, “Oh tidak. Sesungguhnya aku hanya seorang penolong.”
Rasulullah mengetahui keadaan Mughits yang terus berharap kepada Barirah. Dia pun tidak melarangnya untuk tetap mencintai mantan istrinya itu. Bagaimanapun, keadaan itu tak dapat dibendung dan ditahan. Keadaan itu tidak muncul karena dorongan kehendak yang sadar. Sebuah syair pernah dilantunkan:
“Aku bertanya kepada Sa’id mufti Madinah
Adakah dosa karena cinta yang melimpah?”
Said ibnu Al-Musayyib memberi jawaban,
“ Dosa hanya untuk yang bisa diupayakan.”