REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin virus corona buatan China telah disuntikkan kepada jutaan orang di berbagai negara. Mengapa negara Barat termasuk Australia tidak memakainya?
Media milik Pemerintah China melaporkan bahwa hingga akhir Februari 2021, negara itu telah mengekspor vaksin buatan mereka ke 28 negara, mulai dari Indonesia, Brasil, Mesir, UEA, Pakistan, Filipina, Kamboja, Nepal, Sierra Leone, Zimbabwe, hingga Chile.
Semuanya merupakan negara yang kurang makmur dan sangat membutuhkan vaksin. Sementara negara kaya seperti Australia lebih memilih vaksin buatan Inggris, Eropa dan Amerika Serikat.
Vaksin buatan China tidak membuka peluang tinjauan sejawat (peer-reviewed) sehingga mendorong kekhawatiran pakar kesehatan. Tapi apakah skeptisisme negara Barat hanya disebabkan oleh hal ini?
Tidak transparan menurut standar Barat
Kepala bagian epidemiologi Deakin University, Profesor Catherine Bennett, menjelaskan Australia belum mendapat informasi yang terverifikasi secara independen tentang vaksin China.
"Kita tak dapat melihat adanya transparansi yang sama dalam pengujian vaksin dan tindak lanjutnya", katanya.
Prof Catherine menambahkan bahwa uji coba tindak lanjut di masyarakat merupakan bagian penting untuk memastikan apakah setelah vaksinasi ditemukan adanya kejadian buruk yang perlu diketahui.
Meeski demikian, negara-negara yang menggunakan vaksin China harus memilih antara vaksin yang belum ditinjau menurut standar Barat dan risiko menunggu lama sampai bisa mendapatkan vaksin lain. Vaksin tersebut juga telah digunakan di China, katanya, sehingga harusnya dapat memberikan jaminan keamanan.
"Meskipun mungkin tidak memadai untuk badan regulator seperti di Australia, bisa jadi China sudah tahu vaksinnya berhasil, dan mereka memiliki pasokan yang cukup dan dapat menyediakannya dengan harga yang murah," katanya.
Terpengaruh adanya tekanan politik
Pengamat politik dari Australia National Universituy Dr Graeme Smith menjelaskan alasan meragukan vaksin China karena adanya tekanan politik terhadap ilmuwan di sana untuk segera mendapatkan hasil. "Jika ada kepentingan politik, dengan penekanan bahwa China harus memiliki vaksin yang efektif, tentunya ada dorongan untuk mempercepat proses [pembuatan vaksin]," kata Dr Greame.
Namun, dia menambahkan adanya unsur rasisme dalam liputan negatif di media Barat tentang vaksin China.
"Selain itu, ada kemarahan terhadap China yang dilihat sebagai sumber pandemi tapi tidak mau mengakuinya. Hal itu banyak mewarnai liputan media," ujarnya.
Sementara itu menurut dosen Sydney University Dr Minglu Chen, ada banyak faktor yang mempengaruhi persepsi Barat terhadap vaksin China. Dr Minglu menyebut persaingan politik antara China dan Barat juga berperan.
"Saya merasa ketegangan hubungan bilateral merupakan faktor utamanya," katanya.
Dr Minglu mengatakan, Pemerintah China pun menghadapi masalah yang sama dengan negara lain dalam meyakinkan penduduknya bahwa vaksinnya aman dan efektif.
China juga memiliki kesempatan untuk meningkatkan pengaruhnya secara global dengan menyediakan vaksinnya ke negara-negara yang kurang kaya.
"Jika vaksinnya tidak efektif, maka itu akan merusak citra dan reputasi China dan tidak membantu mencapai tujuan soft powernya," ujar Dr Minglu.
Bagaimana dengan kemanjuran vaksin China?
Pakar epidemiologi Burnet Institute, Prof Mike Toole, mengatakan perlu diingat bahwa dua vaksin China, yang diproduksi oleh Sinopharm dan Sinovac, sangat bervariasi dalam tingkat efikasi atau kemanjuran yang dilaporkan. Ketika Sinopharm meminta persetujuan dari otoritas kesehatan China, mereka mengklaim vaksinnya memiliki kemanjuran 79 persen.
Prof Mike menyebut hal ini didukung oleh uji coba di UEA yang melibatkan lebih dari 20.000 orang, dan uji coba yang lebih kecil di Bahrain. Kedua uji coba menemukan vaksin Sinopharm memiliki kemanjuran 86 persen.
"Itu cukup bagus," katanya.
Sebagai perbandingan, vaksin Pfizer mengumumkan efikasinya mencapai 95 persen. Prof Mike menyebut sangat sedikit yang diketahui tentang vaksin China lainnya, yang diproduksi oleh Sinovac.
Dia mengatakan uji coba terbatas di Brasil menemukan tingkat kemanjuran 51 persen, hanya sedikit di atas ambang batas WHO sebesar 50 persen. Tetapi hasil itu mungkin dipengaruhi oleh varian virus corona di Brasil. Reuters melaporkan uji coba di Turki menemukan vaksin Sinovac memiliki kemanjuran 83,5 persen.
"Supaya adil bagi China, mereka jauh lebih berhati-hati dalam menyetujui vaksin dibandingkan dengan Rusia," ujarnya.
Bagaimana dengan keamanannya?
Para peneliti Turki menyatakan sejauh ini tidak ada efek samping parah yang terjadi selama uji coba, selain yang dialami satu orang yang memiliki reaksi alergi. Dikatakan pula, efek samping yang umum disebabkan oleh vaksin ini adalah demam, nyeri ringan dan sedikit kelelahan,.
Prof Mike Toole menjelaskan uji coba di UEA tidak menemukan efek samping yang buruk dari vaksin Sinopharm.
"Saya bisa katakan vaksin Sinopharm mungkin bagus," kata Prof Mike.
Ia mengatakan tidak ada alasan badi UEA untuk berbohong soal uji coba ini.
"Ini negara kaya dan mereka bisa mendapatkan vaksin apapun yang diinginkannya. Saya mempercayai UEA dengan datanya," tambahnya.
"Kecurigaan utama para ilmuwan tentang vaksin China didasarkan pada alasan belum adanya publikasi data dalam jurnal peer-review. Meskipun vaksin Johnson & Johnson juga begitu, namun cepat disetujui oleh AS," katanya.
Sejauh ini, kata Prof Mike, vaksin Pfizer telah mempublikasikan datanya dalam jurnal peer-review, begitu pula vaksin buatan Rusia Sputnik V.
AstraZeneca telah menerbitkan hasil uji coba vaksin di Inggris - dengan efikasi 62 persen - tetapi hasil uji coba di AS belum diumumkan. Organisasi Kesehatan Dunia WHO belum memutuskan apakah akan menerima 10 juta dosis vaksin dari China untuk skema COVAX, yang memberikan vaksin untuk negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Mengapa Australia tak gunakan vaksin China?
Ketika ditanya mengapa tak berusaha memperoleh vaksin dari China, Departemen Kesehatan Australia memberikan jawaban tidak langsung. Dikatakan, investasi Australia dalam vaksin COVID-19 didorong oleh "pendapat ilmiah berbasis bukti dari para pakar medis".
"Badan Pengawas Obat-obatan hanya akan mendaftarkan vaksin jika manfaatnya jauh lebih besar daripada risikonya," kata pernyataan Depkes.
"Keputusan ini didasarkan pada sejumlah faktor, termasuk keamanan, kualitas dan efektivitas vaksin telah ditetapkan layak untuk penggunaan yang dimaksudkan," katanya.
Tanggapan soal vaksin China di negara penerima
Carolina, seorang perawat berusia 26 tahun di Santiago, Chili, termasuk penerima pertama suntikan vaksin Sinovac pada 3 Februari dan menerima suntikan kedua pada 3 Maret.
Dia menyebut terjadi penurunan kasus COVID dengan gejala parah dibandingkan tahun lalu, tapi masih terlalu dini untuk menghubungkannya dengan vaksin.
Banyak orang di Chili belum divaksinasi atau menerima suntikan kedua. Carolina mengatakan banyak yang awalnya ragu menggunakan vaksin Sinovac, tapi setelah vaksin tersedia, kebanyakan orang mau menerimanya.
"Ada sedikit ketidakpercayaan sehubungan dengan vaksin Sinovac, saya yakin preferensi mereka adalah Pfizer," katanya.
“Namun, kami hanya mendapatkan sedikit dari vaksin Pfizer ini, sehingga orang tidak punya pilihan lain kecuali Sinovac," ujar Carolina.
"Orang tidak terlalu peduli vaksin mana yang akan didapatkan. Mereka bersedia divaksinasi dengan baik, selama mereka tidak sakit parah," tambahnya.
sumber: https://www.abc.net.au/indonesian/2021-03-26/sikap-australia-terhadap-vaksin-china/100030868