REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para pengunjuk rasa penentang kudeta militer di seluruh Myanmar pada Ahad (28/3) berduka atas gugurnya 114 orang dalam hari paling berdarah tindakan keras aparat keamanan Sabtu (27/3) lalu. Jumlah ini adalah korban yang tewas sejak 1 Februari lalu. Warga Myanmar berjanji untuk terus melakukan aksi protes menuntut pengakhiran pemerintahan militer di negara tersebut.
"Kami memberi hormat kepada pahlawan kami yang mengorbankan nyawa revolusi ini dan kami harus memenangkan REVOLUSI ini," seru salah satu kelompok protes utama General Strike Committee of Nationalities (GSCN) melalui unggahan di Facebook, Ahad (28/2).
Anak-anak termasuk diantara mereka yang tewas pada Sabtu. PBB mengatakan, tentara Myanmar telah melakukan pembunuhan massal.
Sabtu juga merupakan pertempuran terberat sejak kudeta militer 1 Februari. Portal berita Myanmar Now mengatakan 114 orang tewas di seluruh negeri dalam tindakan keras terhadap protes tersebut.
Korban tewas termasuk 40 orang, salah satunya seorang gadis berusia 13 tahun, di kota kedua di Myanmar, Mandalay. Sementara sdikitnya 27 orang tewas di pusat perdagangan Yangon. Seorang anak berusia 13 tahun lainnya termasuk di antara yang tewas di wilayah Sagaing tengah.
Sebuah kelompok masyarakat sipil mengatakan, jet militer telah menewaskan sekurangnya tiga orang dalam serangan di sebuah desa yang dikendalikan oleh kelompok bersenjata dari minoritas Karen.
Serangan itu terjadi setelah faksi Serikat Nasional Karen sebelumnya mengatakan, telah menyerbu sebuah pos militer di dekat perbatasan Thailand yang menewaskan 10 orang. Serangan udara tersebut membuat penduduk desa melarikan diri ke hutan.
Kematian tercatat dari wilayah Kachin di pegunungan utara hingga Taninthartharyi di ujung selatan Laut Andaman. Ini menjadikan jumlah keseluruhan warga sipil yang dilaporkan tewas sejak kudeta menjadi lebih dari 440.
Namun seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk mengomentari pembunuhan atau pertempuran itu. Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin junta, mengatakan selama parade untuk memperingati Hari Angkatan Bersenjata bahwa militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi.
Militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari dengan alasan telah terjadi kecurangan dalam pemilihan umum (pemilu) pada 8 November lalu. Militer menahan pemimpin sipil Myanmar sekaligus pemimpin partai pemenang pemilu, National League for Democracy (NLD) Aung San Suu Kyi. Militer juga menahan Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah petinggi lain.