REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para aktivis pro-demokrasi meminta pasukan etnis minoritas Myanmar untuk mendukung kampanye melawan kekuasaan militer. Komite Pemogokan Umum Nasional (GSCN) dalam surat terbuka di Facebook meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang “penindasan yang tidak adil” oleh militer.“Organisasi etnis bersenjata perlu secara kolektif melindungi rakyat,” ujar pernyataan GSCN.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis minoritas dengan pemerintah pusat telah terjadi selama beberapa dekade terakhir, dan mereka telah setuju untuk melakukan gencatan senjata. Namun pertempuran antara pasukan etnis minoritas dengan pemerintahan militer meletus di wilayah timurr dan barat Myanmar. Pada akhir pekan, bentrokan meletus di dekat perbatasan Thailand antara militer dengan kelompok bersenjata dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar yaitu Karen National Union (KNU).
Sekitar 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer membom daerah kekuasaan KNU. Pemboman ini menewaskan tiga warga sipil. Pasukan KNU kemudian menyerbu pos militer dan menewaskan 10 orang.
Puluhan ribu penduduk desa Karen telah tinggal di kamp-kamp di Thailand selama beberapa dekade. Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha meminta agar Myanmar tetap menyelesaikan masalahnya secara internal.
"Biarlah ini menjadi masalah internal. Kami tidak ingin eksodus, evakuasi ke wilayah kami, tetapi kami juga akan memperhatikan hak asasi manusia,” kata Prayuth.
Di utara Myanmar, pertempuran meletus pada Ahad (28/3) antara pemberontak etnis Kachin dan militer di daerah pertambangan batu giok Hpakant. Berdasarkan laporan media Kachinwaves, kelompok Kachin Independence Army (KIA) menyerang sebuah kantor polisi, dan militer menanggapi dengan serangan udara. Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan dalam serangan tersebut. KNU dan KIA menyatakan dukungan untuk gerakan anti-kudeta dan meminta militer menghentikan kekerasan terhadap warga sipil.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrews mengatakan, militer Myanmar telah melakukan "pembunuhan massal" dan meminta dunia untuk mengisolasi junta dengan memblokir akses senjata. Namun kritik dan sanksi asing yang dijatuhkan oleh beberapa negara Barat gagal mempengaruhi para jenderal militer Myanmar.
Kekerasan militer terhadap warga sipil terus berlanjut. Pada Ahad (28/3), aparat keamanan Myanmar melepaskan tembakan pada sebuah upacara pemakaman di dekat Yangon. Penembakan terjadi ketika para pengunjuk rasa dan warga sipil berkumpul untuk berduka atas gugurnya 114 pendemo Sabtu dalam tindakan brutal aparat terhadap protes anti kudeta sejak Februari.
Para pelayat melarikan diri dari penembakan di upacara pemakaman untuk siswa berusia 20 tahun Thae Maung Maung di Bago, Yangon. Saksi mata mengatakan, tidak ada laporan tentang korban jiwa dalam penembakan itu.
"Saat kami menyanyikan lagu revolusi untuknya, pasukan keamanan baru saja datang dan menembak kami," kata seorang wanita bernama Aye yang berada di upacara pemakaman tersebut. "Orang-orang, termasuk kami, lari saat mereka melepaskan tembakan," ujarnya menambahkan.
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement