Soal Larangan Mudik, PHRI DIY: Pemerintah tidak Konsisten
Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Bayu Hermawan
Mudik (ilustrasi) | Foto: Republika/Wihdan
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mengaku terkejut dengan kebijakan larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah pusat. Bahkan, pemerintah dinilai tidak konsisten mengeluarkan kebijakan.
Pasalnya, ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo Eryono menyebut, beberapa hari lalu masih diperbolehkan untuk mudik di masa Idul Fitri 2021. Kebijakan ini mempengaruhi industri pariwisata khususnya di DIY.
"Menunjukkan pemerintah tidak konsisten dalam memberikan kebijakan. 10 hari lalu sebelum ada larangan ini, Kemenhub memperbolehkan (mudik)," kata Deddy kepada Republika.co.id melalui pesan tertulisnya, Senin (29/3).
Deddy menuturkan, kebijakan tersebut membingungkan pelaku usaha pariwisata. Sebab, di tengah pandemi Covid-19 saat ini pelaku usaha pariwisata termasuk hotel dan resto sangat terdampak.
Pihaknya bahkan berharap di masa Idul Fitri 2021 ini dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke DIY. Sehingga, hal ini juga akan berdampak pada peningkatan perekonomian.
Namun, pemerintah dinilai mengeluarkan kebijakan secara mendadak. Deddy menyebut, tidak ada komunikasi dari pemerintah sebelum dikeluarkannya kebijakan larangan mudik tersebut.
"Kebijakan larangan mudik ini tentunya mempersulit kita. Karena dua event tahun lalu saat Lebaran dan Natal Tahun Baru kami gigit jari, yang tentunya kami berharap ada pemasukan. Lebaran ini pun kami dipukul kembali dengan hal yang sama," jelasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah pusat melarang masyarakat untuk mudik di masa Idul Fitri 1442 Hijriyah/2021. Pemda DIY juga akan mengikuti aturan tersebut. Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, keputusan larangan mudik ini cukup arif. Sebab, dengan adanya larangan mudik akan membatasi mobilitas masyarakat di masa pandemi Covid-19.
"Saya kira itu keputusan yang cukup arif terkait dengan (masih adanya) penyebaran Covid-19," kata Aji.
Aji menuturkan, kebijakan larangan mudik ini tidak berbeda dengan adanya kebijakan untuk tidak berkerumun. Begitu pula dengan kebijakan pembatasan lain seperti di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berbasis mikro.
"Saya kira perlakuannya sama, karena mudik itu artinya adalah perjalanan panjang dan itu juga mengisi liburan. Maka, supaya tidak ada kerumunan, supaya tidak ada perjalanan panjang, maka tidak boleh mudik," ujarnya.