Senin 29 Mar 2021 17:28 WIB

Tuntutan Agar Muslim Rohingya Peroleh Haknya Disuarakan

Aung San Suu Kyi menyuarakan hak bagi Muslim Rohingya Myanmar

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
 Aung San Suu Kyi. Ratusan orang hilang setelah kebakaran di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh .
Foto: The Guardian
Aung San Suu Kyi. Ratusan orang hilang setelah kebakaran di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh .

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON –  Ratusan ribu Muslim Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh harus diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat Myanmar. 

Hal ini disampaikan sekutu utama pemimpin Myanmar yang telah digulingkan, Aung San Suu Kyi. Tak hanya itu, mereka juga menuntut Muslim Rohingya diberikan haknya secara penuh, termasuk masalah kewarganegaraan. 

Baca Juga

Dalam sebuah wawancara pekan lalu, Sasa, yang hanya menggunakan satu nama dan menggambarkan dirinya sebagai utusan yang mewakili parlemen Myanmar untuk PBB, mengatakan sudah waktunya bagi 55 juta orang di negara itu mengesampingkan perbedaan mereka dan menghadapi militer yang merebut kekuatan pemerintah bulan lalu. 

Di bawah pemerintahan sebelumnya oleh Suu Kyi, yang sekarang ditahan, Myanmar membela militer dari tuduhan melakukan genosida terhadap Rohingya mulai tahun 2017. Hal ini memaksa lebih dari 700 ribu orang melarikan diri melintasi perbatasan. 

Dilansir di Bloomberg, Senin (29/3), perlakuan militer Myanmar terhadap Rohingya mendorong Amerika Serikat memberikan sanksi kepada para pemimpin militer, merusak reputasi internasional Suu Kyi, bahkan memperburuk iklim investasi. 

Pihak berwenang yang terus menerus gagal menjamin perlindungan dalam upaya pemulangan mereka, membuat Muslim Rohingya hidup dalam kondisi jorok di kamp-kamp pengungsi. 

Mereka ditolak hak-hak dasarnya termasuk kewarganegaraan. Di sisi lain, pihak berwenang bahkan menolak untuk mengakui mereka sebagai Rohingya dan menyebut mereka "Bengali", yang dianggap menghina. 

"Saya menunggu waktu untuk memanggil saudara-saudari Rohingya sebagai keluarga saya. Kami adalah satu keluarga. Sekarang kami hanya memiliki satu musuh bersama yaitu para jenderal militer ini," kata Sasa dalam wawancara dengan Bloomberg Television.  

Komentar itu muncul menjelang akhir pekan paling mematikan sejak kudeta militer. Sedikitnya 114 pengunjuk rasa dan warga sipil tewas dalam bentrokan dengan militer dan polisi, Sabtu (27/3) kemarin.  

Selusin kepala pertahanan dari seluruh dunia...

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement