Selasa 30 Mar 2021 07:57 WIB

Bolehkan Puasa Qadha Ramadhan untuk Orang Sudah Meninggal?

Ulama mazhab Hanafi dan Maliki memberikan dalil soal puasa qadha orang meninggal.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Bolehkan Puasa Qadha Ramadhan untuk Orang Sudah Meninggal?. Foto: Fajar Ramadhan yang tertimpa pandemi Coroma (ilustrasi).
Foto: WallpaperAcces
Bolehkan Puasa Qadha Ramadhan untuk Orang Sudah Meninggal?. Foto: Fajar Ramadhan yang tertimpa pandemi Coroma (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wafa binti Abdul Aziz As Sulaiman dalam kitabnya fiqih  Himpunan Hukum Islam khas Ummahat, menerangkan, bahwa ahlul ilmu berbeda pendapat terkait boleh tidaknya mengqadha puasa ibu yang telah meninggal. Ahlul ilmu yang membolehkan mengqadha puasa adalah  Imam Syafi'i, dishahihkan oleh sejumlah muhaqqiq kalangan Syafi'iyyah, seperti Al Baihaqi dan Nawawi.

Wafa menyampaikan, pendapat tidak boleh mengqadha puasa untuk ibu yang sudah meninggal ini disampaikan mayoritas ahlul Ilmi dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Ini merupakan pendapat baru Imam Syafi'i sekaligus pendapat masyhur Syafi'iyah.

Baca Juga

Pendapat ini dikemukakan Ibnu Abbas, Aisyah dan Ibnu Umar.  Pendapat ini didasarkan pada sejumlah dalil.

Pertama diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi SAW beliau bersabda, "Siapa yang meninggal dunia sementara masih memiliki tanggungan puasa sebulan sebagian penggantinya hendaklah memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu harinya."

Kedua, diriwayatkan dari Aisyah, ia menuturkan, "Janganlah kalian puasa menggantikan mayat-mayat kalian, tetapi berilah makan orang miskin atas nama mereka."

Ketiga, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia ditanya tentang seseorang yang meninggal dunia yang masih memiliki tanggungan puasa ramadhan, Ibnu Abbas berkata, "memberi makan 30 orang miskin sebagai pengganti puasanya."

Wafa menanggapi pendapat di atas, kata dia atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat ini kontroversial, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Hadits-hadits yang menyebut memberi makan orang miskin sebagai ganti puasa mayit tidak melarang untuk menggantikan puasa.

"Dengan demikian, puasa mayit bisa diganti dengan puasa yang sama, bisa juga dengan memberi makan orang miskin," katanya.

Atsar Aisyah yang melarang puasa menggantikan puasa mayit adalah dhaif dan tidak bisa dipakai sebagai hujjah, andai pun tidak berseberangan dengan dalil apapun. Akan tetapi apa boleh buat, atsar ini berseberangan dengan hadits-hadits shahih.

Atsar-atsar ini meski dengan asumsi shahih tetap saja berseberangan dengan Hadits Shahih dari Rasulullah SAW sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Jika tidak, berarti perkataan sahabat harus didahulukan sebelum Sabda beliau.

Puasa adalah ibadah yang tidak boleh diwakilkan saat seseorang masih hidup sama seperti itu juga setelah meninggal dunia, sama halnya dengan salat menurut Wafa ini namanya kias yang berhadapan dengan nash seperti ini tidak sah karena menggantikan puasa si mayit ada dalil shahihnya yang berbeda dengan sholat.

Sementara, sejumlah ulama kalangan Mazhab Syafii berpendapat boleh mengqadha puasa bagi orang yang meninggal. Dan ini dishahihkan oleh sejumlah muhaqqiq kalangan Syafi'iyyah, seperti Al Baihaqi dan Nawawi.

"Syafi'i menyatakan, pandangan ini didasarkan pada hadits shahih, seperti metode yang lazim digunakan dalam madzhabnya," katanya.

Pendapat ini juga dikemukakan sejumlah ahli hadits yang mengqadha puasa ibu yang sudah meninggal adalah kerabat terdekat, seperti anak. Pendapat ini kata Wafa binti Abdul Aziz didasarkan dari beberapa hadist:

Pertama diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang meninggal dunia sementara masih memiliki tanggungan puasa, yang menggantikan puasanya adalah walinya."

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, "Ibuku meninggal dunia, sementara ia masih memiliki tanggungan puasa sebulan." Bagaimana menurutmu, seandainya Ibumu memiliki hutang, apakah engkau mau melunasinya? tanya beliau. "Ya," jawaban wanita itu. "Maka hutang Allah lebih berhak untuk dilunasi, "tutup beliau.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia menuturkan, "seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata Wahai Rasulullah Ibuku meninggal dunia, sementara ia masih memiliki tanggungan puasa nazar. Bolehkah aku berpuasa untuknya? Tanya Bagaimana menurutmu, Seandainya Ibu memiliki hutang, apakah kau mau melunasinya? Tanya beliau. "Ya." Maka berpuasalah untuk Ibumu, ujar beliau.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement