REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketika Ibu meninggal dunia sementara masih memiliki tanggungan puasa, baik puasa ramadha, nazar, ataupun puasa kafarat boleh mengganti puasanya. Namun kata Wafa binti Abdul Aziz As Sulaiman dalam kitabnya fiqih Ibu Himpunan Hukum Islam khas Ummahat, menerangkan, bahwa ahlul ilmu berbeda pendapat terkait boleh tidaknya mengqadha puasa tersebut.
Pendapat pertama yang membolehkan mengqadha puasa ibu yang sudah meninggal bahkan dianjurkan. Itu disampaikan menurut pendapat lama Imam Syafi'i, dishahihkan oleh sejumlah muhaqqiq kalangan Syafi'iyyah, seperti Al Baihaqi dan Nawawi.
"Syafi'i menyatakan, pandangan ini didasarkan pada hadits shahih, seperti metode yang lazim digunakan dalam madzhabnya," katanya.
Pendapat ini juga dikemukakan sejumlah ahli hadis yang mengqadha puasa ibu yang sudah meninggal adalah kerabat terdekat, seperti anak.
Pendapat ini kata Wafa binti Abdul Aziz didasarkan dari beberapa hadist:
Pertama diriwayatkan dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang meninggal dunia sementara masih memiliki tanggungan puasa, yang menggantikan puasa nya adalah walinya."
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, "Ibuku meninggal dunia, sementara ia masih memiliki tanggungan puasa sebulan." Bagaimana menurutmu, seandainya Ibumu memiliki hutang, apakah engkau mau melunasinya? tanya beliau. "Ya," jawaban wanita itu. "Maka hutang Allah lebih berhak untuk dilunasi, "tutup beliau.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia menuturkan, "seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata Wahai Rasulullah Ibuku meninggal dunia, sementara ia masih memiliki tanggungan puasa nazar. Bolehkah aku berpuasa untuknya? Tanya Bagaimana menurutmu, Seandainya Ibu memiliki hutang, apakah kau mau melunasinya? Tanya beliau. "Ya." Maka berpuasalah untuk Ibumu, ujar beliau.