REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- China dilaporkan akan menyelesaikan perubahan pada peraturan pemilihan umum (pemilu) di Hong Kong, Selasa (30/3) waktu setempat. Reformasi pemilu ini dinilai bakal memperketat kendali China atas Hong Kong.
Tujuan dari perubahan tersebut adalah untuk memastikan bahwa hanya tokoh "patriotik" yang dapat mencalonkan diri untuk posisi kekuasaan di Hong Kong. Kritikus mengingatkan bahwa hal itu akan berarti akhir dari demokrasi di Hong Kong karena mencegah oposisi bekerja.
Langkah tersebut mengatur bahwa setiap calon anggota parlemen pertama-tama akan diperiksa kesetiaan mereka ke China daratan. Beijing pertama kali menyetujui rencana untuk mengubah cara kerja pemilu Hong Kong selama Kongres Rakyat Nasional (NPC) awal Maret.
Rinciannya kini tengah dituntaskan oleh Komite Tetap NPC Beijing, sebelum ditambahkan ke lampiran mini-konstitusi Hong Kong, Undang-Undang Dasar. Rencana ini adalah untuk memperluas parlemen Hong Kong, Dewan Legislatif (LegCo), dari 70 menjadi 90 kursi.
Namun yang paling krusial, ini membayangkan sistem kandidat LegCo. Pasalnya calon akan diperiksa sebelum mereka dapat mencalonkan diri sehingga membuatnya lebih mudah untuk melarang politisi yang dianggap kritis terhadap daratan.
Saat ini sekitar setengah dari kursi LegCo dipilih langsung oleh publik, dan beberapa kursi tersebut telah jatuh ke tangan tokoh-tokoh pro-demokrasi.
Separuh lainnya diisi oleh kelompok-kelompok kecil yang mewakili kepentingan khusus seperti bisnis, perbankan, dan perdagangan hingga sektor-sektor yang secara historis sudah pro-Beijing.
Ada kontroversi mengenai apakah ini akan menjadi perubahan pada Hukum Dasar, yang mengabadikan kebebasan dasar. Ini adalah kesepakatan yang dicapai antara Inggris dan China ketika Hong Kong diserahkan kembali ke China daratan pada 1997.
Perubahan tersebut tidak dituliskan ke dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri, namun ke dalam lampirannya, yang berhak dilakukan oleh Beijing. Sementara kubu pro-Beijing Hong Kong mengatakan perubahan tidak mengubah konstitusi, pihak pro-demokrasi bersikeras demikian. "Secara teknis, ini bukan perubahan pada Hukum Dasar," kata Ian Chong, profesor politik di Universitas Nasional Singapura dikutip BBC.
"Tapi dalam hal mempengaruhi semangat mengadakan pemilihan yang kompetitif dan bergerak menuju hak pilih universal, itu akan terjadi," ujarnya menambahkan.
Perjanjian penyerahan antara Inggris dan China memberi wilayah itu lebih banyak kebebasan daripada daratan yang konon memastikan kebebasan itu tidak akan tersentuh selama 50 tahun hingga 2047 di bawah prinsip "satu negara, dua sistem". Sejak itu, Beijing secara bertahap meningkatkan pengaruhnya di Hong Kong. Kritikus menuduh bahwa China melanggar perjanjian tetapi Beijing membantahnya.