REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hukuman potong tangan akibat tindakan mencuri ternyata pernah berlaku juga sebelum Islam datang.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS Al Maidah: 38)
Abdurrahman bin Muada al-Bakri, seorang profesor studi Alquran dari Arab Saudi, menjelaskan di saluran YouTube resmi Tafseer Center, makna "nakalan" adalah hukuman jera yang menghalangi tindankan pengulangan penyerang dan menghalangi orang lain.
Al Bakri menambahkan, hukuman itulah yang membuat pelaku jera, dan siapapun yang menghendaki atau membujuk dirinya untuk melakukan perbuatan tersebut akan terhindar dari hukuman jika melihat hukuman tersebut, dan jika seseorang mencuri tangannya akan dipotong.
Al Bakri mengatakan, Allah SWT menyebut hukuman ini ganjaran atas apa yang mereka lakukan, dan itu juga mencegah pencuri melakukan tindakan ini lagi dan sebagai pencegah orang lain. Jangan sampai dia terjerumus ke dalam pencuri ini.
Al Bakri menambahkan bahwa Allah menyebutkan "nakalan" di beberapa tempat lain, termasuk perkataannya, “Kami memiliki siksaan dan neraka.” Dan rantai adalah rantai yang dengannya mereka terikat.
Ibnu Katsir dalam penafsirannya menunjukkan bahwa pemotongan tangan telah berlangsung sejak masa jahiliyah. Setelah Islam datang hukuman ini disempurnakan dengan syarat-syarat lain, seperti sumpah, diyat, dan pinjaman, dan hal-hal lain yang sesuai dengan syariat.
Ibnu Katsir menjelaskan orang yang pertama mendapat hukuman potongan tangan di masa jahiliyah adalah Duwaik, dari Bani Malih bin Amr dari Khuza'a yang telah mencuri harta karun Ka’bah.
Dar Al Iftaa menjelaskan kondisi batas pencurian dalam fatwa sebelumnya yang memiliki syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan tindak pidana pencurian agar berhak menerapkan hukuman hadd, dan syarat tersebut terwakili dalam lima hal, harta yang dicuri berharga, berniat untuk melakukan pencurian, tidak terpaksa melakukan pencurian, tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang dicuri, dan tidak ada kecurigaan bahwa harta tersebut ada hak si pencuri.
Komite Fatwa menegaskan bahwa jika salah satu dari kondisi sebelumnya tidak terpenuhi maka, hukuman hadd tidak ditetapkan untuk pencuri. Karena hukum had tidak berlaku jika muncul keraguan, sehingga pencuri dijatuhi hukuman sesuai dengan putusan hakim pengadilan.n Ratna Ajeng Tejomukti
Sumber: masrawy