REPUBLIKA.CO.ID, Wajah Islam di Indonesia ditandai dengan keberagaman praktik beragama. Misalnya, Islam di Jawa berbeda dengan yang ada di luar Jawa. Corak Islam di belahan barat Indonesia dalam aspek-aspek tertentu relatif sama dengan belahan timur. Ringkasnya, aktor Islamisasi di Jawa didominasi jaringan “orang suci” (saint) yang disebut wali, tarekat, dan pesantren sebagai institusi gerakan. Sementara itu, agensi utama Islam di Indonesia timur adalah para pedagang, terutama dari etnis Bugis-Makassar.
Pertumbuhan, perkembangan, dan dinamika Islam di pelbagai daerah di Indonesia berlangsung dalam suatu kancah di mana aktor dan institusi dakwah berperan memainkan agensi dan otoritasnya menghasilkan identitas serta corak tertentu pada masyarakat Muslim.
Dewasa ini, praktik dan identitas Islam di Indonesia timur tumbuh dari bawah (bottom up) bersahutan dengan munculnya otoritas agama yang dinamis, terutama dari kalangan pedagang-perantau Bugis-Makassar
Pada masa lampau dakwah di Indonesia timur ditopang kesultanan-kesultanan besar, seperti Goa-Tallo di Sulawesi, Ternate-Tidore di Maluku, serta Bima di Sumbawa. Pada saat ini otoritas dan agensi itu bergerak di atas kekuatan pranata sosial-budaya setempat dan adanya revitalisasi peran institusi keagamaan, seperti masjid dan sekolah agama (madrasah), yang mengatalisasi terbentuknya identitas Islam yang melokal, beragam, dan dinamis.
Buku ini berisi sembilan bab kajian antropologi tentang menjadi Muslim di Indonesia timur dengan fokus pada praktik, identitas, dan otoritas Islam. Subjek kajian buku ini adalah masjid dan imam yang berperan sebagai lokus dan agen Islamisasi di Indonesia timur, antara lain, di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Baca juga : Indikator Kecerdasan dan Kedewasan Muslim Menurut Rasulullah
Institusi dan otoritas agama yang terlupakan
Kajian mengenai Islam Indonesia kontemporer yang cenderung Jawasentris menekankan peran pondok pesantren dan kiai dalam pembentukan dan dinamika masyarakat Muslim. Padahal, terdapat institusi dan otoritas lain, yakni masjid dan imam sebagai satu kesatuan yang inheren sebagai lokus dan agen.
Beberapa varian Imam: Cepe Lebe (Bima), Lebeh (Ambon), dan Imam Desa (Sulawesi Selatan) adalah otoritas agama yang berperan sebagai penganjur agama yang membentuk lapisan praktik Islam. Perannya secara praktis menegosiasikan nilai-nilai Islam dalam pergulatannya dengan budaya lokal.
Selain itu, mereka berperan sebagai guru agama, penghulu pernikahan, mediator konflik, pemimpin pemakaman, serta sebagai dukun dan pengelola klinik kesehatan. Ringkasnya, imam tumbuh dan berkembang bersamaan pertumbuhan masjid ataupun madrasah.
Buku ini berhasil menggambarkan pergumulan Islam dalam konteks budaya lokal yang tidak serta-merta tunggal. Misalnya di Bantaeng, Saenong mendeksripsikan, imam desa berperan sebagai mediator penyelesaian konflik, mencerminkan adanya mekanisme kreatif bagi dialektika hukum adat, hukum nasional, dan hukum Islam.
Sementara itu, Alimi menggambarkan peran imam desa di Bulukumba secara kreatif dalam pusaran ritual perkawinan, suatu proses yang memfasilitasi pertemuan berbagai aras pemikiran dan praktik.
Robinson menelisik pola persekutuan otoritas...
Baca juga : Aa Gym Cabut Gugatan Cerai ke Teh Ninih