Rabu 31 Mar 2021 13:15 WIB

Ketua KPK Firli Bahuri tak Ingin Ada Lagi 'Jumat Keramat'

Firli mengatakan pengumuman tersangka kasus korupsi bisa kapan saja.

Red: Bayu Hermawan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengaku tidak ingin ada istilah "Jumat Keramat" dalam proses hukum di lembaga yang dipimpinnya. Firli mengatakan KPK kapanpun bisa mengumumkan penetapan tersangka, jika memang sudah ada alat bukti.

"Mohon maaf mungkin sekarang tidak ada lagi yang mendengar pengumuman tersangka hari Jumat, tidak ada lagi. Kenapa. Karena kami membangun bahwa 'Jumat Keramat' tidak ada," kata Firli Bahuri di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/3).

Baca Juga

"Jumat Keramat" merujuk pada pemanggilan atau penahanan terduga dan terdakwa korupsi oleh KPK, sehingga biasanya terdakwa yang dipanggil KPK pada Jumat, seusai pemeriksaan tersebut akan langsung ditahan. Salah satu tokoh besar yang dijerat pada "Jumat Keramat" adalah Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang ditahan pada Jumat, 17 November 2017. Sedangkan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham juga ditahan KPK pada Jumat, 31 Agustus 2018 terkait perkara suap proyek PLTU Riau-1.

"Yang ada setiap hari itu keramat. Kenapa. Kami tidak ingin dikatakan kami menarget seseorang, pokoknya hari Jumat harus ada pengumuman tersangka, kami tidak," ujarnya.

Sedangkan pada saat ini, pimpinan KPK baru mengumumkan penetapan tersangka ke publik, saat tim penyidik KPK telah melakukan penahanan tersangka. Firli mengatakan, karena tersangka ada setelah ada kecukupan alat bukti.

"Nah untuk mencari alat bukti tentu kami melakukan penyelidikan dan penyidikan, mencari keterangan saksi, mengumpulkan alat bukti dengan itu kami berharap ada terangnya perkara pidana korupsi, setelah terang baru ketemu orangnya, baru kami umumkan," kata Firli.

Firli juga menyebut enggan untuk mengumumkan seseorang menjadi tersangka korupsi, namun malah membutuhkan waktu lama untuk menjalani proses hukum. 

"Kami tidak ingin lagi mengumumkan si A terlibat korupsi tapi lama prosesnya, menunggu lama. Kalau seseorang kami umumkan sebagai tersangka korupsi, setidaknya anak, istri, orang tua, handai tolan, keponakannya mereka juga ikut terpenjara, juga ikut menerima hukuman. Itu kami tidak ingin," ujar Firli lagi.

KPK melakukan kegiatan "Penyuluhan Antikorupsi" bagi 25 orang narapidana kasus korupsi sebagai bagian program asimilasi yaitu masa tahanannya akan segera berakhir di Lapas Sukamiskin, Bandung. Dalam program ini, KPK menggunakan pendekatan ilmu psikologi untuk memetakan narapidana asimilasi, antara lain dengan menggunakan metode komunikasi dua arah, mengenali kepribadian, analisis gesture, vibrasi suara, goresan tulisan, dan lain-lain.

Pemetaan ini diharapkan akan menghasilkan data narapidana yang siap untuk dilibatkan dalam program antikorupsi. KPK melakukan kegiatan penyuluhan sebagai bentuk pelibatan seluruh elemen masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement