REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat memerintahkan semua diplomat dengan peran yang tidak terlalu penting untuk meninggalkan Myanmar pada Selasa (30/3) setelah kekerasan militer terhadap demonstran pro-demokrasi meningkat.
Pemerintahan Biden mengizinkan pegawai pemerintah non-darurat dan keluarga mereka untuk meninggalkan negara itu pada 14 Februari, yang pada saat itu merupakan hari-hari awal terjadinya kekerasan militer untuk meredam protes. AS kemudian meningkatkan kewaspadaannya dengan memerintahkan para diplomat untuk pergi di tengah peningkatan kekerasan.
Departemen Luar Negeri mengumumkan perubahan dalam peringatan perjalanan yang melarang semua perjalanan ke Myanmar karena sedang terjadi kerusuhan sipil dan kekerasan bersenjata serta pandemi Covid-19. Setidaknya 141 orang, termasuk anak-anak, ditembak mati oleh rezim militer yang berkuasa di Myanmar pada Sabtu dalam aksi kekerasan terhadap protes pro-demokrasi yang pecah setelah kudeta militer 1 Februari.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan pembunuhan delapan pengunjuk rasa oleh polisi dan pasukan keamanan pada Selasa (30/3) membuat jumlah demonstran yang terbunuh menjadi 521. Situasi di Myanmar terus bergejolak setelah militer merebut kekuasaan pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Menanggapi kudeta tersebut, kelompok sipil di seluruh negeri meluncurkan kampanye pembangkangan dengan demonstrasi massa dan aksi duduk.