REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Intelijen dan Terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta mengatakan, paham radikal bisa memengaruhi siapa saja dan paham inilah yang menjadi dasar dari orang melakukan kekerasan. Paham radikal ini biasa didoktrinkan jika bergabung dengan organisasi-organisasi tertentu atau bisa juga diperoleh melalui konten di internet. Jadi, dalam hal ini yang menjadi teroris bisa siapa saja.
"Masalah utamanya adalah paham radikal ini bisa mempengaruhi siapa saja. Persoalan ada atribut FPI dalam penangkapan JAD tidak perlu dikagetkan. Peristiwa sebelumnya di Makassar sekitar tahun 2015 juga ada anggota FPI yang berbaiat dengan ISIS. Jangankan anggota FPI yang berbaiat kepada ISIS, oknum Polri yang berbaiat juga ada bahkan bergabung dengan ISIS di Suriah," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (31/3).
Dikatakannya, pengangkapan orang perlu ada dasar hukum termasuk bukti. Salah satu bukti adalah jika terlibat dalam aksi teror maka kelompok tersebut akan dapat ditangkap.
Selain itu, jika ada kasus teror biasanya akan meninggalkan jejak atau petunjuk yang bisa membawa kepada tersangka lainnya. Ini sangat wajar.
"Proses penangkapan jaringan sangat penting karena jika tidak segera ditangkap maka bisa melakukan aksi susulan. Saya kira tidak ada yang memposisikan Islam sebagai radikal," kata dia.
"Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci. Namun, fakta ada orang atau kelompok dengan tafsir agama yang salah untuk membenarkan aksi kekerasan, itu tidak bisa diingkari," imbuhnya.