REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China menanggapi laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) tentang praktik hak asasi manusia (HAM) yang menuding China melakukan genosida di Xinjiang. Menurutnya, hal itu merupakan kebohongan besar.
"Menuduh China 'genosida' adalah kebohongan terbesar dari semua yang bertentangan dengan hukum internasional," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Hua Chunying pada Rabu (31/3), dikutip laman resmi Kemlu China.
Dia menjelaskan istilah genosida muncul dengan latar belakang Perang Dunia II. Istilah itu digunakan untuk menceritakan kehancuran suatu bangsa atau kelompok etnis. Pada Desember 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Dalam konvensi tersebut genosida didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras, atau agama. "Dalam hal tindakan, harus dibuktikan ada tindakan tertentu berdasarkan Konvensi. Ini adalah persyaratan paling dasar untuk menemukan genosida," ujar Hua.
Atas dasar itu, Hua mengatakan temuan genosida harus dihasilkan dari penerapan aturan prosedural yang otoritatif, tegas, dan tidak fleksibel. Hal tersebut mesti bertahan menghadapi pengawasan ketat terhadap fakta dan tahan terhadap ujian waktu.
"Tidak ada negara, organisasi, atau individu yang memenuhi syarat dan berhak untuk secara sewenang-wenang menentukan negara lain telah melakukan genosida," kata Hua.
Awal pekan ini, Inggris, AS, Kanada, dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada China. Mereka menuding China telah melakukan pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang.
Pada 2018, panel HAM PBB mengatakan mereka telah menerima laporan yang dapat dipercaya bahwa setidaknya satu juta orang Uighur dan Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang. Beberapa organisasi HAM turut meyakini adanya tindakan represif dan sewenang-wenang terhadap Muslim Uighur.