REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga (PRK), Prof Amany Lubis, menyampaikan keprihatinannya karena masih ada perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme.
Dia pun memaparkan soal mengapa perempuan mau terlibat dalam aksi terorisme atau melanjutkan sikap ekstrem terhadap suatu permasalahan di dalam masyarakat atau negara.
Amany menjelaskan, mereka cenderung kurang memiliki wawasan yang menyeluruh terhadap permasalahan yang ada. Sebab, Islam itu mengajak pada perdamaian dan antikekerasan.
Dalam Islam, segalanya bisa dibicarakan atau dimusyawarahkan untuk memperleh pengetahuan tentang suatu permasalahan dan mencari solusi yang adil bagi seluruh pihak.
"Perempuan harus diperhatikan secara khusus untuk diberi wawasan. Nilai keagamaan harus diajarkan dengan benar, bukan yang ekstrem. Perempuan harus mendapat pendidikan yang baik dan kesempatan di dalam masyarakat untuk berkiprah. Dengan begitu, mereka bisa membaur dengan masyarakat," tutur dia kepada Republika.co.id, Jumat (2/4).
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyampaikan, peristiwa teror yang terjadi belakangan ini menunjukkan masih perlunya wawasan keagamaan dan kebangsaan serta pemurnian ajaran agama kepada masyarakat luas, baik perempuan ataupun laki-laki.
Tujuannya agar mereka tidak tersesat sehingga memilih jalan yang ekstrem. "Perempuan sama dengan laki-laki, sama-sama hidup di masyarakat. Berarti tindakan solusi apapun yang diberikan kepada laki-laki itu juga diberikan kepada perempuan," kata guru besar sejarah Politik Islam ini.
Meski demikian, Amany juga mengakui, saat ini masih ada anggapan, bila perempuan terlibat gerakan terorisme, berarti terpengaruh suami, keluarga atau kelompok tertentu.
"Maka di sinilah kita harus menegaskkan, perempuan itu punya kemandirian, jangan ikuti ajaran yang salah yang ada di sekitar, baik keluarga atau masyarakat," tuturnya.
Kemandirian perempuan, lanjut Amany, bisa diperoleh dengan jalan pendidikan. Dia mengingatkan bahwa pendidikan merupakan solusi agar masyarakat, khususnya perempuan, terhindar dari berbagai hal negatif termasuk tindakan aksi terorisme.
"Solusi selanjutnya, adalah adanya jaminan sosial yang memadai, karena kalau perempuan tidak punya kemampuan dari dirinya dan keluarganya, mereka dapat melakukan hal-hal yang tidak baik, entah itu bisa melakukan tindak kriminal atau tindakan aksi terorisme," jelasnya.
Amany menyampaikan, lingkungan masyarakat yang tidak baik juga bisa memengaruhi seseorang untuk kemudian terlibat dalam aksi terorisme. Di antaranya, sikap tidak peduli antartetangga dan kurangnya sikap saling memberi kepada yang membutuhkan.
"Kalau masih ada ketidakadilan, lingkungannya dan keluarganya tidak peduli, tidak ada bantuan, masyarakat tidak memberi zakat atau infak kepada yang membutuhkan, lalu memicu tekanan hidup yang berat, maka dia bisa melakukan hal-hal seperti balas dendam atau kebencian terhadap sistem masyarakat yang ada," terangnya.
Menurut Amany, rasa frustasi terhadap tatanan masyarakat yang jauh dari nilai kebaikan, bisa menjadi salah satu faktor perempuan melakukan kekerasan. Jika rasa frustasi ini muncul, sulit mencari solusi yang baik dan positif untuk dirinya maupun keluarganya. Untuk itu, Amany mengingatkan pentingnya meningkatkan kebersamaan di lingkungan masyarakat.
"Yang berpunya harus berbagi kepada yang tidak berpunya. Kewajiban keagamaan dari zakat, infak sedekah, itu harus dilakukan. Apalagi di musim pandemi seperti sekarang ini. Semua sudah sulit, banyak PHK, banyak penurunan pemasukan, ini yang membuat banyak orang frustasi," katanya.
Amany menambahkan, orang yang memiliki wawasan dan pendidikan yang luas, tentu akan mampu mencari solusi tanpa kekerasan. "Justru dia menciptakan hal-hal positif di dalam masyarakat untuk dilakukan bersama-sama sehingga tidak melakukan kekerasan," ucapnya.