REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Layanan internet nirkabel Myanmar ditutup atas perintah militer pada Jumat (2/4). Penutupan ini perluasan dari keputusan junta yang sudah melakukan pemutusan akses internet berminggu-minggu.
"Semua layanan data broadband nirkabel untuk sementara ditangguhkan hingga pemberitahuan lebih lanjut," menurut pernyataan yang diposting dari oleh penyedia lokal Ooredoo.
Tindakan Ooredoo ini dilakukan atas arahan dari Kementerian Transportasi dan Komunikasi pada Kamis (1/3). Militer meminta menutup semua tautan, selain yang menggunakan kabel serat optik yang kecepatannya secara drastis telah lebih lambat. Akses ke jaringan seluler dan semua nirkabel telah diblokir.
Perusahaan telekomunikasi Norwegia dan salah satu operator terbesar di Myanmar, Telenor, mengonfirmasi tidak dapat lagi menawarkan layanan nirkabel. mereka hanya bisa menawarkan layanan serat optik hingga 40 megabyte per detik dalam paketnya, jauh di bawah akses berkecepatan tinggi yang minimal 100 Mbps.
Pemerintah telah menutup semua kecuali segelintir kantor berita yang dikendalikan sepenuhnya oleh militer. Beberapa dari mereka yang dilarang atau yang operasinya ditangguhkan terus mempublikasikan melalui media sosial atau metode apa pun yang dapat dilakukan.
Facebook mengumumkan telah menyediakan fitur keamanan untuk memungkinkan pengguna di Myanmar meningkatkan pengaturan keamanan yang mengunci profil untuk mencegah akses oleh diluar daftar teman. Fitur ini mencegah orang di luar daftar pertemanan memperbesar, berbagi, atau mengunduh profil dan sampul ukuran penuh, serta melihat pos apa pun di beranda profil.
Facebook dan media sosial utama lainnya telah melarang anggota militer Myanmar, yang juga dikenal sebagai Tatmadaw untuk mengakses. Perusahan pun memblokir iklan dari sebagian besar entitas komersial yang terkait dengan militer.
Human Rights Watch yang berbasis di New York mengeluarkan laporan mengatakan bahwa militer Myanmar telah secara paksa menghilangkan ratusan orang. Mereka ini termasuk politisi, pejabat pemilihan, jurnalis, aktivis dan pengunjuk rasa dan menolak untuk mengkonfirmasi lokasi atau mengizinkan akses ke pengacara atau anggota keluarga yang melanggar hukum internasional.
"Penggunaan penangkapan sewenang-wenang dan penghilangan paksa oleh junta militer secara luas tampaknya dirancang untuk menimbulkan ketakutan di hati para pengunjuk rasa anti-kudeta,” kata direktur Asia Human Rights Watch, Brad Adams.
"Pemerintah yang prihatin harus menuntut pembebasan semua orang yang hilang dan menjatuhkan sanksi ekonomi yang ditargetkan terhadap para pemimpin junta untuk akhirnya meminta pertanggungjawaban militer yang kejam ini," kata Adams.
Krisis di negara Asia Tenggara telah meningkat dalam sepekan terakhir. Jumlah pengunjuk rasa yang meninggal terus meningkat serta serangan udara militer terhadap pasukan gerilyawan etnis minoritas Karen di sepanjang perbatasan dengan Thailand.
Free Burma Rangers menyatakan, daerah-daerah yang dikendalikan oleh suku Karen, lebih dari selusin warga sipil telah tewas sejak pekan lalu. Sedangkan lebih dari 20.000 orang mengungsi dengan sekitar 3.000 orang Karen melarikan diri ke Thailand.
Pihak berwenang Thailand mengatakan mereka kembali secara sukarela, tetapi kelompok bantuan mengatakan mereka tidak aman dan banyak yang bersembunyi di hutan dan di gua-gua di sisi perbatasan Myanmar. Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Asia Tenggara meminta negara-negara di kawasan itu untuk melindungi semua orang yang melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan.
"Memastikan bahwa pengungsi dan migran tidak berdokumen tidak dipulangkan secara paksa," kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Dewan Keamanan PBB pun telah mengecam keras penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai. Pernyataan itu lebih lemah dari draf yang menyatakan kesiapan untuk mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut yang dapat mencakup sanksi. Cina dan Rusia yang merupakan anggota tetap DK dan pemasok senjata untuk militer Myanmar, menentang sanksi.