Pakar UGM: Banyak Hoaks Covid-19 tak Terbukti
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Fernan Rahadi
Berita-berita hoaks terkait Covid-19 (ilustrasi) | Foto: Republika
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Satu tahun lebih warga dunia menghadapi Covid-19. Namun, sampai saat ini masih terus beredar info-info tidak tepat atau berita bohong (hoaks) seputar virus SARS Cov-2, yang disinformasinya banyak menimbulkan kebingungan.
Pakar alergi imunologi UGM, dr Deshinta Putra Mulya mengatakan, salah satunya vaksin membahayakan. Itu tidak tepat karena dalam pembuatan lewati penelitian panjang melihat kemampuan membentuk antibodi, efek samping, dan efikasi.
"Jadi, pernyataan vaksin Covid-19 berpotensi membahayakan tidak benar karena sudah melalui penelitian panjang dan setelah diberi pin dilakukan observasi lagi," kata Deshinta saat jadi pembicara webinar Dies Natalis 75 FKKMK UGM beberapa waktu lalu.
Deshinta menyebut, masih ada sejumlah informasi lain seputar vaksin Covid-19 yang tidak benar ramai diperbincangkan. Di antaranya vaksin moderna dirancang untuk mengubah DNA manusia dan vaksin Covid-19 memiliki chip untuk melacak orang.
Ia menekankan, itu tidak benar karena chip tidak bisa dimasukkan melalui injeksi. Lalu, soal vaksin Covid-19 telah bermutasi jadi ribuan Covid-19 baru di dunia juga tidak benar sebab virus dalam vaksin telah dimatikan.
Selain itu, setelah vaksinasi dilaksanakan ada pula hoaks tidak perlu mematuhi protokol kesehatan setelah divaksin Covid-19. Deshinta mengingatkan, itu juga salah karena antibodi tidak langsung terbentuk setelah vaksin.
"Selain itu, efikasi masing-masing vaksin beda, tidak ada yang 100 persen, sehingga masih ada peluang terinfeksi," ujar Deshinta.
Pakar pulmonologi UGM, dr Ika Trisnawati menyampaikan, sejak awal pandemi sampai saat ini hoaks beredar melalui banyak platform. Terbaru, menyebutkan pasien Covid-19 tidak dapat lagi terinfeksi karena sudah memiliki kekebalan.
Ia menegaskan, pernyataan tersebut tidak benar. Sebab, meskipun sudah ada kekebalan tapi kekebalan akan turun setelah 2-3 bulan kemudian, lalu saat terjadi penurunan orang-orang tersebut masih bisa berisiko terinfeksi lagi.
Lalu, soal meminum mecobalamin dapat mengobati anomsia sebagai gejala Covid-19 tidak benar. Sebab, pengobatan untuk anosmia tidak menggunakan jenis obatan tersebut, sama kasusnya dengan penggunaan obat herbal Cina Lianhua Qingwen.
"Sebenarnya Lianhua itu obat herbal yang memiliki kandungan untuk turunkan demam, membersihkan dahak saluran pernafasan, meringankan nyeri tenggorokan. Ini memang bisa membantu tapi bukan mengurangi perburukan kondisi," kata Ika.
Kemudian, terkait mutasi virus Covid-19 sangat mematikan, yang mana tidak juga tepat. Ika menambahkan, sejumlah penelitian sudah menunjukkan jika mutasi virus Covid-19 memang terbukti memiliki daya infeksi yang lebih besar.
"Namun begitu, belum terdapat bukti ilmiah yang menyebutkan mutasi covid menjadi sangat mematikan. Mutasi terbukti mudah menularkan, tapi belum ada laporan kalau mutasi menjadi sangat mematikan," ujar Ika.