REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menanggapi wacana Ketum Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Moeldoko menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta. Menurut Zuhro, wacana semacam itu bisa saja terealisasi.
Zuhro mengamati selama ini politik bukanlah sesuatu yang pasti. Politik dapat berubah-ubah, bahkan secara cepat tergantung tindakan para aktor-aktornya.
Menurut Zuhro, politik pada akhirnya ialah tentang keuntungan. Moeldoko bisa saja jadi Cagub dari Demokrat kubu Cikeas kalau hal itu dianggap menguntungkan, meskipun sempat berseteru dalam konflik legalitas kepengurusan.
"Dalam politik itu tdk ada yg absolut. Yang ada adalah kompromi dan saling melakukan kolaborasi kalau itu dianggap menguntungkan," kata Zuhro pada Republika, Ahad (4/4).
Namun, Zuhro memandang wacana Moeldoko jadi Cagub DKI lewat Demokrat kubu Cikeas dianggap condong menguntungkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sehingga, pengguliran isu ini dianggap sudah dipertimbangkan matang kubu Cikeas.
"Kalaupun pun Demokratnya AHY menawarkan Cagub kepada Moeldoko di Pilkada DKI Jakarta, itu sebenarnya justru makin membesarkan AHY dan partainya," ujar Zuhro.
Adapun bagi Moeldoko, menurut Zuhro, akan menjadi pihak yang dirugikan. Moeldoko bakal mengemban label "haus kekuasaan". Apalagi sebelumnya coba-coba merebut kekuasaan atas partai Demokrat dari kubu Cikeas.
"Moeldoko akan dianggap sebagai orang yang terkesan mengejar kekuasaan semata. Artinya, poin positif bukan ada di pihak Moeldoko. Tapi di AHY dan partainya," ucap Zuhro.
Sebelumnya, Wakil Ketua Pertimbangan Partai Demokrat Rachland Nashidik melalui akun Twitter resminya, menawarkan bila Moeldoko ingin menjadi kader Demokrat. Namun, dengan syarat mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Rachland juga menyebut bahwa Partai Demokrat membuka peluang jika Moeldoko ingin maju sebagai Cagub DKI Jakarta. Tetapi menurut Rachland, tetap dengan kompetisi yang sehat.