REPUBLIKA.CO.ID, SOFIA -- Bulgaria menggelar pemilihan parlemen di tengah gelombang unjuk rasa antipemerintah dan kasus infeksi virus corona melonjak tajam. Perdana Menteri Boyko Borissov berharap memenangkan periode keempatnya.
Pemimpin politisi yang memimpin partai populis GERB sudah berkuasa di Bulgaria sejak Desember 2006. Ia juga memimpin Bulgaria dengan tangan besar selama 11 tahun terakhir.
"Saya selalu mempertimbangkan apa yang diputuskan rakyat, mari gelar pemilu yang jujur," kata Borissov seperti yang dikutip dalam siaran pers partainya ketika ia memasukan kotak suara tanpa kehadiran wartawan, Ahad (4/4).
Sejak gelombang unjuk rasa bulan Juli lalu Borissov menghindari kontak dengan wartawan. Ia mengandalkan media sosial untuk kampanyenya dengan slogan partai 'kerja, kerja, kerja'.
Sejak ribuan rakyat Bulgaria turun ke jalan dan menuduh pemerintah terlibat dalam oligarki, gagal mengentaskan kemiskinan dan gratifikasi serta merombak sistem peradilan. Semakin sedikit yang mendukung Borissov baik di dalam maupun luar negeri.
Bulgaria bergabung dengan Nato pada 2004 lalu dan Uni Eropa pada 2007. Negara anggota dua aliansi itu kerap mengkritik korupsi, lemahnya supremasi hukum, dan kebebasan media massa Bulgaria. Tapi Borissov mengaku memiliki hubungan baik dengan negara-negara Barat.
"Besarnya dukungan yang kami terima dari rekan-rekan di Eropa menunjukkan pentingnya pemerintahan Eropa yang stabil di Bulgaria," katanya.
Negara itu membuka 12 ribu tempat pemungutan suara yang dibuka dari pukul 07.00 hingga 20.00 waktu setempat. Sekitar 6,7 pemilih terdaftar memilih 240 anggota parlemen.