REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas tersangka kasus likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dikritik. Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Fathul Bari menilai langkah itu tidak adil.
"SP3 perdana yang dikeluarkan oleh KPK pasca revisi UU KPK mencederai rasa keadilan masyarakat," kata Fathul dalam keterangan tertulisnya, Ahad (4/4).
Langkah KPK tersebut merupakan dampak dari aturan baru dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Penerbitan aturan yang dianggap melemahkan KPK tersebut menjadi polemik sepanjang 2019.
Menurut dia, kasus BLBI merupakan salah satu kasus mega korupsi dalam sejarah Indonesia yang hingga saat ini dinilai belum terurai. SP3 tersebut dinilai mengkhawatirkan karena KPK malah terjebak dengan pendekatan prosedural.
SP3 tersebut memperlihatkan tidak ada upaya serius KPK untuk membongkar skandal BLBI yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun itu. "Hal ini menjadi catatan kesekian kalinya dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama sejak revisi UU KPK hingga yang terakhir dengan turunnya indeks persepsi korupsi", ujarnya.
Tersangka kasus BLBI, Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim mendapatkan SP3 pada Kamis (1/4). KPK beralasan tidak bisa memenuhi syarat adanya tindak pidana korupsi terkait penyelenggara negara dalam perkara tersebut. "KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Kamis (1/4).
Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) akan berencana menggugat KPK ke praperadilan terkait penerbitan SP3 tersebut. Kordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, dalil KPK menerbitkan SP3 itu cacat hukum. “MAKI akan segera mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan untuk membatalkan SP3 tersebut,” kata Boyamin, Jumat (2/4).
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mempersilahkan MAKI melakukan gugatan tersebut. "KPK hargai upaya yang akan dilakukan oleh sejumlah pihak diantaranya MAKI tersebut karena memang ketentuan hukumnya mengatur demikian," kata dia, Sabtu (3/4).
Dia mengatakan, penghentian perkara tersebut telah sesuai aturan hukum yang berlaku. Dia melanjutkan, hal ini mengingat putusan akhir pada tingkat Mahkamah Agung (MA) dalam perkara SAT menyatakan ada perbuatan sebagaimana dakwaan tapi bukan tindak pidana. "KPK telah berupaya maksimal sampai kemudian saat itu juga diajukan upaya hukum luar biasa PK dan ditolak oleh MA," katanya.
Jalan terus
Ali mengatakan, KPK juga berencana mengajukan pencabutan status Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Kendati, Ali mengatakan, proses tersebut tidak bisa sembarangan dilakukan mengingat ada mekanisme tertentu yang harus dilakukan.
"Namun perlu mekanisme adminstratifnya, dan KPK akan lakukan," kata Ali. KPK menetapkan keduanya sebagai DPO pada Agustus 2019 setelah setelah dua kali mangkir dari panggilan KPK.