REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana, Suparji Ahmad menilai surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim, memiliki dasar hukum dan dapat memberi kepastian hukum. Namun demikian, ia menilai SP3 tersebut dapat menjadi preseden buruk penegakan korupsi di Indonesia.
Padahal, menurutnya KPK sudah maju melangkah dengan menetapkan tersangka tapi mundur. "Ini jelas menjadi preseden buruk dan catatan hitam dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," keluh Suparji dalam keterangan pers, Ahad (4/4).
Suparji juga menyebutkan bahwa SP3 ini bisa digugat ke pengadilan. Menurutnya, berdasarkan Pasal 80 KUHAP dan Putusan MK No 76/PUU-X/2012 memungkinkan hal tersebut. Menurutnya, yang menggugat bisa masyarakat yang berkepentingan, misalnya lembaga pegiat anti korupsi seperti MAKI. Bahkan Suparji sendiri akan mendukung jika ada gugatan tersebut.
"Karena penegakan tindak pidana korupsi harus baik dan benar secara prosedur, substansi dan kewenangan," sambung akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan penghentian penyidikan ini berdasarkan Pasal 40 UU KPK. Menurutnya sebagai bagian dari penegak hukum, maka dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Baca juga : Harga Naik, Investor Raup Keuntungan Investasi Uang Kripto
"Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal UU KPK, yaitu dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas kepastian hukum," ujar Alex.