Senin 05 Apr 2021 14:48 WIB

Tokoh Perubahan Republika 2020: Koh Steven Indra Wibowo

Harta datang dari Allah, begitu prinsip Koh Steven --Tokoh Perubahan Republika 2020

Pendiri Mualaf Centre Indonesia Steven Indra Wibowo berfoto untuk Anugerah Tokoh Perubahan Republika 2020.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pendiri Mualaf Centre Indonesia Steven Indra Wibowo berfoto untuk Anugerah Tokoh Perubahan Republika 2020.

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh WAHYU SURYANA

Republika kembali menggelar acara Tokoh Perubahan. Kali ini, tema yang akan diangkat adalah "Hikmah Kebersamaan untuk Bangkit dari Pandemi". Indra Wibowo atau akrab disapa Koh Steven menjadi salah seorang penerima penghargaan itu. 

Reporter Republika, Wahyu Suryana, mendapat kesempatan untuk mewawancarai pria yang lahir di Jakarta tersebut di sela-sela kesibukannya. Pria yang pada April 2021 ini genap berusia 40 tahun itu memang memiliki jadwal yang padat. 

Sambil mengerjakan proyek-proyek pembangunan kafe, Koh Steven, sapaan akrabnya, terus memproduksi alat pelindung diri (APD) untuk disumbangkan kepada tenaga medis.

Selain itu, Koh Steven terus mendistribusikan sembako kepada masyarakat yang ada di daerah-daerah dan terkena dampak pandemi Covid-19. Luar biasanya, semua dilakukan menggunakan dana pribadi hasil penjualan aset-aset yang dimilikinya.

Berikut petikan perbincangan dengan Koh Steven yang ditemui di Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis 24 Maret 2021 lalu.

Bagaimana awal mulanya Anda dan teman-teman MCI tergerak melakukan aksi kemanusiaan dengan memberi bantuan APD, masker, dan lain-lain?

Sebenarnya sudah hampir 10 tahun ini MCI Peduli ada di Indonesia. Pertama, bergerak di letusan Merapi, saat itu orang masih tidak tahu cara hadapi abu vulkanis. Kita sudah pakai respirator karena abu melukai saluran pernapasan.

Kita bagi-bagikan itu, fokusnya memang kemanusiaan dan kebencanaan. Lalu, gempa dan tsunami Palu, gempa Lombok, 2018 terjadi juga tsunami di Lampung dan Banten, serta bencana-bencana alam lain, termasuk waktu wabah Covid-19.

Kalau bencana lain terjadinya zona, masyarakat masih bisa kirim bantuan. Kalau Covid-19, mereka mau bantu susah. Ini yang saya pikir Allah SWT sudah titipkan segala sesuatu yang ada di dunia ini, apa pun, termasuk harta rumah, mobil, motor, saya pikir Allah pasti akan minta pertanggungjawabannya.

photo
Pendiri Mualaf Centre Indonesia Steven Indra Wibowo berfoto untuk Anugerah Tokoh Perubahan Republika 2020. - (Republika/Wihdan Hidayat)

Saat itu tergerak, bagaimana jika saya mengembalikan apa yang Allah titipkan ke saya dengan cara yang baik. Itu saja, dengan disedekahkan, diwakafkan dalam bentuk produktif. Apalagi, tahun lalu April itu harga masker meroket. Saya coba produksi sendiri, bagikan gratis.

Juga bagaimana caranya penimbun masker ini tutup dan mereka berhenti menzalimi masyarakat. Saya bikin ratusan ribu, bagikan gratis. Itu yang mengancam saya ingin bunuh karena mengancam usaha dia banyak. Mulai dari mengancam yang kasar sampai yang halus mohon-mohon karena masker di rumah banyak belum dijual.

Saya bilang saya cuma bagikan, pertama luncurkan 800 ribu, 500 ribu, 500 ribu, sampai akhirnya saya disetop asosiasi pedagang alat kesehatan. Mereka protes. Akhirnya, oke oke, saya kasih harga. Saya minta teman jual, kasih harga Rp 100 per masker. Jadi, kalau orang beli Rp 10 ribu, dapat 100 masker.

Padahal, waktu itu di luaran satu masker masih Rp 10 ribu, tapi saya pikir ini ikhtiar kita menghindarkan keluarga dan masyarakat dari terjangkit virus.

Apa yang mendasari keputusan Anda untuk menjual aset-aset yang dimiliki untuk membantu menangani dampak pandemi?

Mudah sih, karena jangan terlalu lama dipikirkan, makin lama dipikirkan makin tidak mudah. Waktu itu mau jual rumah untuk bikin hazmat karena langka. Satu RS dulu sedia 10-15, tidak terpikir akan terjadi wabah. Saat itu banyak RS habis.

Lalu, saya baca-baca jurnal medis, lihat bahan-bahan, memang akhirnya kekurangan uang dan waktu itu yang paling gampang jual rumah, jual mobil, dan jual motor karena tidak mungkin pinjam uang, pinjam ke bank.

Mengapa saya bilang mudah? Karena saat mau jual saya cuma bilang ke istri saya, “Bun ini saya jual ya.” “Buat apa?” “Buat bikin APD buat tenaga medis.” “Ya sudah jual saja, sudah. Saya iklankan, sepekan, dua pekan, terjual alhamdulillah.

Ini titipan Allah yang dititipkan kepada kita. Kita kembalikan dengan cara yang baik, saat kita berpikir kepanjangan, akhirnya setan masuk, tidak jadi dijual.

Sesederhana itu, begitu kita ingin sedekahkan, sedekahkan. Jangan kasih kesempatan setan untuk memengaruhi kita. Itu saja, maka jadi mudah.

Bagaimana Anda mengidentifikasi keperluan apa saja yang mendesak dibutuhkan dalam penanganan korona di Tanah Air?

Saya banyak baca jurnal. Saya baca saat satu wabah masuk suatu negara itu yang diruntuhkan ekonomi. Makanya kita kuatkan persediaan beras lokal. Kita bergerak ke petani-petani lokal, luar biasa. Kita beli beras lokal, kita bagikan.

Jadi, padi-padi siap panen kita booking, daripada di pasar turun harga, kita beli lebih mahal. Kita buat personal safety equipment, bikin tes uji. Alhamdulillah bisa terpakai, setelah itu terus kita produksi, kita kirimkan.

Saat itu, yang dipikirkan nyawa orang, keselamatan tenaga medis, kasihan. Sebab, kalau tidak ada tenaga medis, tidak ada yang urus, sesederhana itu. Jadi, tidak usaha kita pikirkan susah-susah.

Kita data, kita riset, ini cara yang paling efektif dan efisien. Daerah ini butuh ini, daerah itu butuh itu. Waktu itu kebanyakan hazmat sumbangan orang ke RS tidak bisa dipakai karena tidak standar, lubang besar, ujung tidak karet, tudung tidak ada, sarung kaki tidak ada, dan lain-lain.

Akhirnya saya bikin surgical gown buat melengkapi baju hazmat yang disumbang masyarakat. Jadi, itu jadi baju rangkap agar sumbangan masyarakat terpakai.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement