REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sastrawan Taufiq Ismail menghadiri peluncuran terjemahan buku kumpulan puisinya, Debu di Atas Debu, di Istanbul, Turki, hari ini. Karya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dengan judul, Toz ustunde Toz. Penerjemahnya merupakan seorang jurnalis yang juga penulis Kamus Turki-Indonesia, Cumhur Cil.
Taufiq Ismail mengaku bersyukur lantaran dapat menyaksikan langsung peresmian Toz ustuden Toz di kantor Konsulat Jenderal RI di Istanbul, Senin (5/4) waktu setempat. Menurutnya, Cumhur Cil berhasil mengalihbahasakan karyanya itu yang terdiri atas 300 halaman.
“Kumpulan puisi, berikut alih bahasa Turki ini semoga mempererat persahabatan antara Turki dan Indonesia yang sudah berlangsung sejak lama,” kata penyair Angkatan 66 itu saat dihubungi //Republika// dari Jakarta, hari ini.
Toz ustuden Toz merupakan karya Taufiq Ismail dalam bahasa asing yang terbaru. Berbagai buku karya sastrawan peraih South East Asian (SEA) Write Award 1994 itu, seperti Tirani dan Benteng serta Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, pun sudah dialihbahasakan ke dalam belasan bahasa dunia.
Khususnya sejak 2010, penerjemahan atas Debu di Atas Debu karya Taufiq Ismail digiatkan. Terjemahan berbahasa Belanda diberi judul Stof op Stof (303 halaman) dan dikerjakan oleh Prof Edwin P Wieringa dari Universitas Cologne, Jerman. Adapun terjemahan bahasa Prancis, Cendres sur Cendres (595 halaman), dilakukan oleh dosen Institut National des Langues et Civilisations Orientales (Inalco), Etienne Naveau.
Alih-bahasa Jerman, Staub auf Staub (307 halaman), digarap oleh Prof EP Wieringa yang berkolaborasi dengan Carsten U Beermann. Terjemahan bahasa Arab, Turab fawqa Turab (513 halaman), dilakukan guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Nabilah Lubis.
Sementara, terjemahan bahasa Inggris buku itu terdiri atas tiga jilid (1.385 halaman) yang dikerjakan guru besar sastra Melayu dari Universitas California Berkeley Amerika Serikat, Prof Amin Sweeney, pada 2014. Terjemahan Debu di Atas Debu ke dalam bahasa Bosnia dilakukan Prof Ferid Muhic dan Edin Hadzalic setahun kemudian.
Tak berhenti di sana, karya penyair kawakan ini juga hadir dalam bahasa Persia, yakni Khak rouy-e Khak (575 halaman), setelah diterjemahkan akademisi Universitas Indonesia Bastian Zulyeno pada 2015. Edisi dwi-bahasa Indonesia dan Korea atas Debu di Atas Debu diluncurkan di Universitas Hankuk, Seoul, Korea Selatan, pada 2017. Penerjemahnya merupakan akademisi kampus setempat, Dr Lee Yeon.
Edisi bahasa Cina dikerjakan oleh Zhu Gangqin dari Guandong University of Foreign Studies RRC, sedangkan terjemahan berbahasa Jepang oleh Johny R Hutabarat, Sri Ratnaningsih, dan Rouli E Pasaribu.
Taufiq meyakini, menerjemahkan puisi adalah sebuah pekerjaan yang cukup sulit. Sebab, kata penyair yang kini berusia 85 tahun itu, setiap teks puisi selalu kaya akan metafora. Alhasil, proses alih bahasanya akan sangat berbeda daripada prosa atau berita.
Ia pun berterima kasih kepada para penulis maupun akademisi yang telah bersedia menerjemahkan Debu di Atas Debu ataupun buku-buku lain karyanya ke dalam ragam bahasa dunia.
Harapannya, kerja kultural mereka dapat menjembatani dunia sastra Indonesia dengan publik internasional seluas-luasnya.