REPUBLIKA.CO.ID, DEMAK--Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menyusun skema perlindungan bagi kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan yang terdampak banjir rob.
Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah Indonesia selalu mengklaim telah melakukan berbagai inisiatif penting dalam berbagai forum internasional, demi mendapatkan dukungan lembaga donor internasional bagi pendanaan dampak perubahan iklim.
Pada tahun 2008, dalam forum Our Ocean Conference (OOC) di Bali, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk merehabilitasi 1.814.352 hektare hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang dimulai pada tahun 2019- 2023.
"Komitmen semacam ini seharusnya ditujukan untuk segera menyusun skema perlindungan bagi kawasan-kawasan yang terkena banjir rob,” kata Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Masnuah dalam keterangan pers yang diterima Republika, Selasa (6/4).
Ia juga menyampaikan, Indonesia telah mendapatkan dana di forum OOC sebesar USD 2,3 juta. Dana sebesar itu, seharusnya juga dialokasikan untuk memperbaiki kehidupan nelayan dan perempuan nelayan yang terdampak buruk krisis iklim.
Misalnya seperti Desa Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Desa berpopulasi penduduk 3.469 jiwa dan saat ini telah tenggelam oleh limpasan air laut dan problem rob.
Menurutnya, berbagai pendanaan internasional untuk isu iklim di kawasan pesisir dan laut yang diterima Pemerintah Indonesia, seharusnya ditujukkan untuk sebesar- besar kepentingan nelayan dan perempuan nelayan, yang harus berhadapan langsung dengan dampak buruk krisis iklim.
Tak sedikit desa pesisir di Indonesia yang terus tenggelam karena krisis iklim. Pada tahun 2020, setidaknya terdapat 23 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir, khususnya nelayan dan perempuan nelayan.
Diperkirakan mereka akan menghadapi kenaikan air laut (banjir rob). "Bahkan menurut sejumlah analisis ilmuwan, lebih dari 100 kabupaten/kota di pesisir Indonesia berpotensi tenggelam akibat banjir rob dalam beberapa dekade mendatang," lanjut Masnuah.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menambahkan, Pemerintah Indonesia wajib menyusun skema perlindungan bagi nelayan dan perempuan nelayan berdasarkan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Berdasarkan pasal 12 UU No. 7 Tahun 2016, skema perlindungan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk masyarakat di Desa Timbulsloko adalah memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan keamanan dan keselamatan.
Termasuk, memberikan jaminan atas risiko penangkapan ikan, mengingat salah satu risiko besar dalam hal ini adalah risiko dari dampak krisis iklim. Maka KIARA, PPNI bersama sejumlah organisasi yang berfusi dalam 'Aliansi Timbulsloko Menolak Tenggelam' terus memperjuangkan warga Timbulsloko dengan barbagai cara.
“Kami mengajak seluruh masyarakat untuk bersolidaritas membantu rakyat, pedagang membantu nelayan dan perempuan nelayan, petani membantu nelayan dan perempuan nelayan, mahasiswa membantu nelayan dan perempuan nelayan, buruh membantu nelayan dan perempuan nelayan,” tegas Susan.
Sementara Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko menegaskan dalam peringatan hari nelayan, pejuangan tersebut menjadi esensi peringatan Hari Nelayan 6 April 2021 ini.
Salah satunya melalui kegiatan Rembuk Pesisir dengan tema 'Peran Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan Wilayah Pesisir Demak' di Desa Timbulsloko.
"Acara ini menhadirkan narasumber Ketua DPRD Kabupaten Demak,Balai Besar Wilayah Sungai [BBWS ]Pemali Juana Provinsi Jawa Tengah,Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Demak," jelasnya.