REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pengungsi dan aktivis Muslim Rohingya, Zafar Ahmad Abdul Ghani, yang melarikan diri dari penganiayaan dan perselisihan etnis di Myanmar, pernah menyebut Malaysia sebagai rumah selama hampir tiga dekade. Namun, saat ini, baginya negara itu lebih seperti penjara.
Pria berusia 51 tahun itu tidak meninggalkan rumahnya di pinggiran Kuala Lumpur selama hampir setahun. Kondisi itu terjadi setelah informasi yang salah menyebar secara daring bahwa dia menuntut kewarganegaraan Malaysia.
Berita bohong tersebut akhirnya memicu gelombang ujaran kebencian dan ancaman pembunuhan terhadap Zafar dan keluarganya. "Saya masih takut. Selama setahun, saya tidak menginjakkan kaki di luar. Saya belum pernah melihat bumi di luar," kata ayah tiga anak itu.
Zafar telah melaporkan tuduhan palsu dan serangan daring ke polisi, tetapi sepengetahuannya, tidak ada dakwaan yang diajukan. Dia membantah mengajukan tuntutan kewarganegaraan atau hak yang sama sebagai warga negara untuk Rohingya di Malaysia.
Lebih dari 100.000 Rohingya tinggal di Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim. Negara itu menerima etnis minoritas yang teraniaya, meskipun mereka tidak secara resmi diakui sebagai pengungsi.
Sentimen penyambutan memburuk setahun yang lalu ketika orang-orang mulai mengatakan Rohingya menyebarkan virus corona. Ujaran kebencian yang menyerukan kekerasan terhadap Rohingya dan migran tidak berdokumen tersebar luas secara daring. Sebagian besar menargetkan Zafar karena mengepalai organisasi hak pengungsi Rohingya di Malaysia.
Zafar masih menerima panggilan dan pesan kasar di ponsel dan akun media sosialnya setiap hari. Detail serta foto keluarganya telah diedarkan secara daring.
Istri Zafar yang berkewarganegaraan Malaysia, Maslina Abu Hassan, mengatakan serangan tersebut telah memakan banyak korban. Anak-anak mereka tidak lagi bersekolah karena masalah keamanan, dan tahun lalu Zafar didiagnosis depresi dan mulai minum obat untuk mengatasinya.
Zafar yang terdaftar di Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) telah mengajukan untuk dipindahkan ke negara lain. Namun, permintaannya ditolak setelah badan tersebut mengatakan dia tidak memenuhi kriteria untuk menerima pemukiman kembali.
Juru bicara UNHCR di Kuala Lumpur mengatakan, badan tersebut tidak dapat mengomentari kasus individu. Keputusan pemukiman kembali bergantung pada berbagai faktor, tetapi pada akhirnya terletak pada negara tuan rumah yang potensial.
Zafar berharap lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa itu akan mempertimbangkan kembali kasusnya karena tidak lagi merasa aman di Malaysia. "Saya tidak bisa merilekskan tubuh saya, otak saya, hati saya. Aku menangis bertanya mengapa orang melakukan ini padaku," katanya.