REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyampaikan hipotesis mengenai korelasi pemanasan global dengan kejadian siklon. Termasuk Siklon Tropis Seroja yang menimbulkan bencana di sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.
"Karena penyebabnya adalah semakin panasnya suhu muka air laut, yang tentunya laut itu tempat mengabsorbsi karbon dioksida, dan itu adalah dampak dari gas rumah kaca, bisa dirunut ke sana. Ini baru hipotesis ya, tapi ada korelasi dengan peningkatan suhu muka air laut yang dipengaruhi juga oleh global warming (pemanasan global)," katanya dalam konferensi pers yang digelar virtual di Jakarta, Selasa (6/4).
"Yang perlu kita sadari bersama global warming ini memang benar-benar harus dimitigasi," katanya, usai mengikuti rapat terbatas melalui telekonferensi video mengenai penanganan bencana di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
Dwikorita mengatakan bahwa sejak tahun 2008 tercatat ada 10 kejadian siklon tropis di Indonesia. Siklon tropis terjadi sekali pada 2008 dan kemudian terjadi lagi pada 2010 dan 2014.
"Jadi sekitar dua sampai empat tahun sekali, tetapi sejak 2017 itu setiap tahun selalu terjadi, setiap tahun, dan bahkan dalam setahun bisa dua kali, dan Seroja ini baru yang pertama kali benar-benar cukup dahsyat, karena masuk sampai ke daratan," kata Dwikorita.
Siklon Tropis Seroja pada Ahad (4/4) menghampiri wilayah Nusa Tenggara Timur serta menyebabkan banjir dan tanah longsor di Kota Kupang, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Malaka Tengah, Kabupaten Lembata, Kabupaten Ngada, Kabupaten Alor, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu Raijua, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Ende. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, siklon menimbulkan bencana di wilayah Kabupaten Bima.
"Kita lihat di situ yang terkuat sebelumnya adalah Siklon Cempaka, itu di lautan, yang masuk ke daratan hanya ekornya. Pusatnya ada di lautan dan yang masuk ke darat hanya ekornya. Begitu masuk ke darat langsung pecah dan terurai," kata Dwikorita.
Ia mengemukakan bahwa siklon yang terjadi di wilayah Indonesia sebelumnya tidak sampai masuk ke daratan. Namun siklon yang baru terjadi mencapai daratan dan menimbulkan kerusakan.
"Dan itu lah yang membuat lebih dahsyat. Bayangkan, kecepatannya saat terbentuk bisa sampai pusarannya 85 kilometer per jam," katanya.
"Ini yang baru pertama kali terjadi di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu dampak dari naiknya suhu muka air laut di wilayah perairan tersebut, yang tercatat sudah mencapai 30 derajat Celsius dari yang semestinya rata-rata sekitar 26 derajat Celsius," katanya, mengenai siklon yang menimbulkan bencana di sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur.
Pengaruh siklon tropis, menurut Dwikorita, diperkirakan berlangsung hingga 7 April 2021. "Selain ada hujan lebat, ada juga angin yang kencang dan gelombang tinggi. Yang dikhawatirkan adalah ini mirip tsunami, jadi gelombang tingginya masuk ke darat. Meskipun tidak sama dan sekuat gelombang tsunami, tetapi sama-sama masuk ke darat dan dapat merusak," ia menjelaskan.
Menurut Dwikorita, siklon bisa menimbulkan gelombang setinggi hingga enam meter di Samudra Hindia dan gelombang dengan tinggi empat sampai enam meter di wilayah perairan Nusa Tenggara Timur seperti perairan Flores, Laut Sawu, perairan selatan Pulau Sumba. "Ini yang perlu diwaspadai baik di perairan dan lautan," kata Dwikorita.
BMKG memperkirakan Siklon Tropis Seroja akan semakin menjauh setelah 7 April 2021. "Sebelum tanggal 7 itu masih terjadi hujan, dapat mencapai lebat, disertai kilat, petir, dan angin kencang. Namun setelah itu Insya Allah prediksinya situasi cuaca sudah semakin membaik," kata Dwikorita.
"Tapi gelombang di lautan masih berpotensi tetap tinggi. Jadi harus diwaspadai juga di lautan, meski daratannya nanti sudah semakin tenang tapi lautannya gelombangnya masih semakin tinggi," ia menambahkan.