REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bermimpi terjatuh dari ketinggian atau dikejar-kejar sesuatu yang menyeramkan bukan pengalaman menyenangkan. Akan tetapi, para ahli justru mengatakan seseorang tidak perlu terlalu merasa takut saat mengalami mimpi buruk.
Selama pandemi, laporan masyarakat yang mengalami mimpi buruk kian meningkat. Bahkan, studi di Wuhan, Cina, yang diterbitkan Januari 2021, lebih dari seperempat peserta penelitian (114 dokter dan 414 perawat) mengalami mimpi buruk secara berkala.
Kandidat doktor di Universitas McMaster Kanada, Rachelle Ho, menjelaskan bahwa mimpi buruk di kalangan tenaga kesehatan umumnya merupakan akumulasi dari stres kronis berkepanjangan. Kondisi itu semakin diperparah akibat ketidakpastian pandemi.
Mungkin terkesan mengkhawatirkan, namun Ho malah mengatakan mimpi buruk berpotensi membantu seseorang menghadapi kehidupan nyata. Ho menyampaikan gagasan menarik bahwa mimpi melatih seseorang mengendalikan emosi.
Saat mengalami mimpi buruk, area otak yang mempersiapkan diri untuk merasa takut berfungsi lebih efektif, seolah-olah mimpi itu melatih seseorang menghadapi situasi serupa. Nantinya, reaksi emosional terhadap hal tersebut akan lebih terkendali.
"Mimpi yang terasa nyata, penuh emosi, dan tidak terlupakan adalah cara otak menyimpan kenangan dan melepaskan tanda emosional, atau menghilangkan penerimaan," kata Ho, seperti dikutip dari laman BBC, Selasa (6/4).
Psikolog klinis dari Universitas Tulsa, Joanne Davis, menyampaikan, sangat wajar jika seseorang merasa cemas ketika bermimpi buruk. Akan tetapi, jika ditelaah lebih lanjut, mimpi buruk bisa mengatasi trauma yang pernah dialami.
Sejak beberapa dekade silam, bidang psikologi klinis telah melihat mimpi buruk sebagai gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD). Ada pula pergeseran paradigma yang menyebutkan mimpi buruk sebagai ciri khas dari banyaknya masalah yang dihadapi.
Seseorang yang selalu bermimpi buruk hingga tingkatan kronis biasanya mendapat penanganan bernama Terapi Latihan Bayangan (Imagery Rehearsal Therapy atau IRT). Perawatan ini berfokus pada memastikan pasien tidur sepanjang malam tanpa terjaga.
Itu membantu memberikan otak waktu istirahat yang dibutuhkan untuk meningkatkan fungsi kognitif. Davis mengatakan, bisa juga corona dan lockdown menimbulkan tantangan baru bagi orang-orang yang menjalani pengobatan tersebut.
Dalam sebuah survei kecil di Prancis, para ilmuwan menganalisis peserta yang telah menjalani IRT untuk mengobati penyebab mimpi buruk berulang. Hasilnya, pandemi Covid-19 menyebabkan mimpi buruk sekitar 2/3 peserta menjadi kambuh.
Sebelumnya semua pasien berhasil mengurangi frekuensi mimpi buruk, yang tadinya hampir setiap malam menjadi sekitar dua kali sepekan. Namun, pada 2020, empat tahun setelah terapi, rata-rata peserta mimpi buruk 19 kali per bulan.
Davis menyoroti pentingnya menganggap mimpi buruk sebagai bagian dari masalah yang lebih luas. Namun, jika pandangan pribadi tentang mimpi buruk diperbaiki terlebih dahulu, seseorang selanjutnya dapat memperbaiki hal-hal lain.
Menurut Davis, melihat mimpi buruk sebagai indikator awal masalah di masa depan juga sesuatu yang tidak salah. Mimpi emosional terkadang terjadi di malam hari setelah peristiwa penting, dan terkadang lima hingga tujuh hari kemudian.
"Anda hanya perlu khawatir jika mimpi buruk terus-menerus terjadi atau jika mimpi buruk mulai memengaruhi kesehatan. Bagi kebanyakan orang, mimpi buruk merupakan cara otak Anda mengatur emosi," ujar Davis.