REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Rizki Jaramaya, Nur Aini
Belt Road Initiatives (BRI) menjadi daya tawar dan daya tarik China untuk memperkuat posisi politik dan ekonominya di level global. Proyek ambisius senilai trilunan dolar AS itu ingin mengembalikan nilai strategis Jalur Sutra pada masa lalu yang sempat membuat separuh dunia kaya raya dan hidup damai.
Pada akhir Maret lalu, China mengamankan perjanjian panjang dengan Iran untuk mendukung proyek BRI ini. China butuh Iran karena posisi strategis dan kekayaan sumber daya alam negeri mullah itu yang melimpah.
Sebaliknya, Iran sangat butuh China dalam upaya melawan Amerika Serikat (AS), negara-negara Arab dipimpin Arab Saudi, dan Israel. Sebuah hubungan saling menguntungkan dan saling memperkuat satu sama lain pun terjalin.
Teheran dan Beijing akan menandatangani perjanjian kerja sama pada Sabtu (27 Maret) sebagai bagian dari Inisiatif Belt and Road China.
Perjanjian tersebut bertujuan meningkatkan kerja sama ekonomi antara Teheran dan Beijing dan membuka jalan bagi partisipasi Iran dalam inisiatif Belt and Road, sebuah proyek infrastruktur besar-besaran yang membentang dari Asia Timur hingga Eropa, dengan fokus sektor swasta.
Presiden China Xi Jinping percaya peran Iran di Jalur Sutra baru itu istimewa, efektif, dan penting. Presiden Jinping menyatakan Iran memiliki posisi khusus di jalur darat Jalur Sutra.
Baca juga : Dradjad: Indonesia Jangan Condong ke China atau AS
Iran menjadi gerbang utama Jalur Sutra karena menghubungkan China dengan negara-negara kawasan lainnya. Xi Jinping memperkenalkan inisiatif Belt and Road untuk menghubungkan Tiongkok dengan Asia, Afrika, dan Eropa melalui jaringan pelabuhan, kereta api, dan jalan raya sejak 2013.
Iran, di mana air dan udaranya merupakan jalur pengiriman sumber energi ke Asia Selatan dan Timur melalui rute maritimnya, dapat menjadi gerbang penting bagi mitra ekonomi timur yang hebat seperti India dan Cina.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan, kesepakatan kerja sama 25 tahun itu memvisualisasikan partisipasi Iran dalam proyek yang diprakarsai oleh China. "Kesepakatan tersebut mengatur dimensi ekonomi dari kerja sama kedua negara dalam berbagai bidang," kata Khatibzadeh.
Kesepakatan tersebut akan berfungsi sebagai peta jalan dalam memperdalam hubungan bilateral kedua negara. Pernyataan itu muncul di tengah kunjungan resmi Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke ibu kota Iran, Teheran, pada akhir Maret itu.
Wang bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani dan Menteri Luar Negeri Javad Zarif. Menurut kantor berita IRNA, menteri luar negeri kedua negara akan menandatangani perjanjian tersebut.
Kesepakatan senilai 400 miliar dolar AS telah dirancang sejak Januari 2016, ketika Presiden China Xi Jinping menjadi pemimpin dunia pertama yang mengunjungi Iran. Pada 2015, Iran menandatangani perjanjian nuklir dengan sejumlah negara maju.
Pada Juni 2020, empat tahun setelah proposal pertama kali diajukan, pemerintah Iran mengatakan perjanjian dengan China itu didasarkan pada pendekatan win-win, setelah beberapa tokoh oposisi mengkritiknya sebagai perjanjian rahasia.
Pada 2016, China sepakat meningkatkan perdagangan bilateral lebih dari 10 kali lipat dengan Iran menjadi 600 miliar dolar AS dalam dekade berikutnya. China adalah mitra dagang terbesar dan sekutu kuat Iran.
Baca juga : Vaksin AstraZeneca dari Korsel Tiba di Iran
"Dokumen ini adalah peta jalan lengkap dengan klausul politik dan ekonomi strategis yang mencakup perdagangan, ekonomi, dan kerja sama transportasi dengan fokus khusus pada sektor swasta dari kedua belah pihak," kata Saeed Khatibzadeh kepada televisi pemerintah.
Pada Kamis (25/3), Kementerian Perdagangan China mengatakan, Beijing akan melakukan upaya untuk melindungi kesepakatan nuklir Iran dan mempertahankan kepentingan sah hubungan Sino-Iran.
Sebelumnya, Reuters melaporkan bahwa Iran secara tidak langsung telah memindahkan sejumlah volume minyak ke China dalam beberapa bulan terakhir, yang ditandai sebagai pasokan minyak dari negara lain. Data bea cukai China menunjukkan bahwa tidak ada minyak Iran yang diimpor dalam dua bulan pertama tahun ini.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berupaya untuk menghidupkan kembali pembicaraan dengan Iran terkait kesepakatan nuklir (JCPOA) yang ditinggalkan oleh AS di bawah pemerintahan mantan presiden Donald Trump pada 2018. Namun, Teheran enggan melakukan negosiasi sebelum AS mencabut sanksi yang telah melumpuhkan perekonomian Iran.
Sejumlah pakar mengatakan perjanjian kerja sama komprehensif yang ditandatangani antara Iran dan China baru-baru ini bertujuan untuk mengurangi efek negatif sanksi Amerika Serikat terhadap kedua negara.
Menurut beberapa sumber, kerja sama pada sektor pertahanan juga merupakan bagian dari perjanjian jangka panjang dan signifikan mengingat adanya peningkatan ketegangan dengan Barat dan latihan militer gabungan baru-baru ini di kawasan Teluk Persia.
"Melalui perjanjian tersebut, Iran mengirim pesan ke negara-negara Barat bahwa 'jika Anda tidak bekerja dengan kami, kami akan bekerja dengan negara-negara timur, termasuk Rusia dan China'," kata Reza Alijani, pakar politik Iran yang dikenal karena kedekatannya dengan kaum reformis, kepada Anadolu Agency.
Di sisi lain, China sedang melakukan manuver politik....