Rabu 07 Apr 2021 14:23 WIB

Akar Kajian Penentuan Waktu Subuh dalam Fiqih Klasik

Penentuan waktu subuh pernah menjadi studi di kalangan ulama klasik

Penentuan waktu subuh pernah menjadi studi di kalangan ulama klasik. Sholat subuh berjamaah (Ilustrasi)
Penentuan waktu subuh pernah menjadi studi di kalangan ulama klasik. Sholat subuh berjamaah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Susiknan Azhar*  

Sejak adanya tulisan Syekh Mamduh Farhan al-Buhairi berjudul "Salah Kaprah Waktu Subuh" dimuat Majalah Qiblati (2009) secara bersambung, keraguan umat Islam soal awal waktu sholat Subuh tampak di permukaan.

Baca Juga

Berbagai diskusi diadakan untuk mengkaji ulang anggitan fajar yang selama ini sudah menyatu dalam keyakinan umat Islam. 

Sebetulnya, menurut catatan penulis, sebelum Syekh Mamduh Farhan al-Buhairi mengoreksi anggitan fajar, yang digunakan di Indonesia, Hanafi S Djamari menulis artikel "Menelaah Kembali Awal Sholat Subuh" dan dimuat harian Republika, 21 Mei 1999.

Dalam uraiannya, Hanafi mengajak umat Islam mengkaji ulang konsep ketinggian matahari awal waktu Subuh. Menurut dia, ketinggian matahari awal Subuh yang relevan untuk masa kini adalah18 derajat.

Namun, respons umat Islam saat itu belum begitu tampak. Soal itu, muncul lagi setelah tim Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Prof Dr Hamka menyampaikan temuannya di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta, Jakarta Islamic Center, Senin 29 Zulkaidah 1438 H/21 Agustus 2017 M.

Temuan ISRN UHAMKA ini menyebutkan, secara statistik nilai rerata ketinggian matahari awal fajar adalah13 derajat di ufuk bagian timur. Hasil ISRN memperoleh respons beragam.

Sebagian besar menganggap hasil ISRN terlalu pagi (mundur sekitar 28 menit) dan masih perlu didialogkan dengan pesan nas, baik Alquran maupun sunnah dan hasil riset lain. Kelompok lain mendukung dan mengamalkannya.

Sejatinya, dalam literatur studi astronomi Islam, perbedaan pandangan dalam menentukan awal waktu Subuh bukan hal baru. Al Qaini berpendapat, ketinggian matahari waktu Subuh 17 derajat. Menurut Al Biruni, 18 derajat. 

Begitu pula, di Indonesia. Misalnya, dalam kitab Al-Khulashah al-Wafiyyah, karya Kiai Zubair Umar Al Jailani disebutkan, awal Subuh ketika posisi matahari 18 derajat di ufuk timur. 

Kitab Ad-Durusul Falakiyah karya Muhammad Ma'shum bin Ali dan Ilmu Falak dan Hisab karya Muhammad Wardan Diponingrat menyebutkan, awal Subuh saat mata hari 19 derajat di bawah ufuk bagian timur. 

Di Indonesia, awal Subuh dimulai saat ma tahari20 derajat di bawah ufuk hakiki di pengaruhi pemikiran Syekh Tahir Jalaluddin Azhari dalam bukunya Nukhbatu At Taqri rati fi Hisabi Al Auqati (1356 H/1937 M). 

Pemikiran Syekh Tahir Jalaluddin tentang anggitan fajar ini, diwariskan dan dilanjutkan seorang murid kesayangannya, Syekh Jamil Jambek, lalu dilanjutkan Saaode'ddin Jambek

 

 

 

sumber : Harian Republika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement