Rabu 07 Apr 2021 18:35 WIB

Kelompok Etnis Siap Melawan, Myanmar Terancam Perang Saudara

Milisi etnis bersenjata bisa bergabung bersama kelompok prodemokrasi menghadapi junta

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi: Tentara Myanmar.
Foto: Anadolu Agency
Ilustrasi: Tentara Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Jenderal Yawd Serk memandang suram masa depan Myanmar di tengah kudeta militer saat ini. Menurutnya perang saudara yang semakin dalam bakal terjadi di negara Asia Tenggara itu.

"Dunia telah berubah. Saya melihat orang-orang di kota tidak akan menyerah. Dan saya melihat (pemimpin kudeta) Min Aung Hlaing tidak akan menyerah. Saya pikir ada kemungkinan perang saudara akan terjadi," ujar Jenderal Yawd Serk dari basis administratifnya di Provinsi Chiang Mai dikutip laman CNN, Rabu (7/4).

Baca Juga

Yawd Serk adalah ahli dalam menghadapi penguasa militer. Dia adalah ketua dari organisasi politik etnis minoritas Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS) dan pendiri sayap bersenjatanya, Tentara Negara Bagian Shan (SSA). Ia mengontrol sebagian besar wilayah di timur Myanmar.

Kelompok ini adalah salah satu dari lebih dari puluhan grup etnis bersenjata yang telah berperang melawan militer Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw dan satu sama lain di perbatasan negara untuk mendapatkan hak dan otonomi lebih besar selama 70 tahun. Sejak militer merebut kekuasaan pada 1 Februari, banyak dari kelompok pemberontak ini termasuk RCSS telah menyatakan dukungan untuk protes nasional tanpa kekerasan terhadap pemerintahan junta.

Mereka juga mengutuk kebrutalan tanpa pandang bulu dan penggunaan kekuatan mematikan yang dilakukan pada warga sipil Burma oleh tentara dan polisi yang dikendalikan junta.

Ketika pasukan keamanan melanjutkan aksi mematikan, ada tanda-tanda bahwa negara tersebut mencapai titik balik saat kelompok pemberontak mulai terlibat dalam konflik baru.

Seorang pemimpin senior pemberontak dan beberapa pengunjuk rasa, yang tidak diidentifikasi CNN karena alasan keamanan mengatakan, sejumlah kecil, tetapi semakin banyak aktivis pro-demokrasi sedang menuju ke hutan di mana mereka menerima pelatihan tempur dari milisi etnis. Ada juga seruan yang meningkat dari pusat-pusat kota agar kelompok pemberontak etnis berbuat lebih banyak untuk melindungi orang-orang dari kekerasan militer.

Sebuah kelompok protes yang dibentuk oleh beberapa dari sekian banyak etnis minoritas di negara itu baru-baru ini meminta 16 organisasi etnis bersenjata untuk segera melindungi kehidupan rakyat. Pada Selasa lalu, tiga kelompok pemberontak di utara negara itu, yang menyebut diri mereka Aliansi Tiga Persaudaraan membuka suara.

"Jika militer Myanmar tidak berhenti membunuh warga sipil, kami akan bergabung dengan revolusi musim semi dengan semua etnis untuk aksi pertahanan diri," kata mereka. "Jika militer terus menembak dan membunuh orang, itu berarti junta telah mengubah diri mereka menjadi teroris," kata Yawd Serk.

"Kami tidak akan hanya duduk diam, kami akan menemukan segala cara untuk melindungi rakyat," ujarnya menambahkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement