REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan siap mengabulkan permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito. Suharjito dinilai pantas mendapatkan predikat JC atau saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum.
Jaksa memandang, Suharjito telah membongkar adanya keterlibatan pihak lain dalam perkara suap izin ekspor benih lobster atau benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
"Dengan permohonan dari terdakwa agar ditetapkan sebagai JC, maka setelah dipertimbangkan, diproses penyidikan dan penuntutan, jaksa berpendapat karena terdakwa sudah bertertus terang dalam memberikan keterangan dan kesaksian, dan membuka keterlibatan pihak lain, maka permohonan terdakwa dapat dikabulkan," ujar Jaksa KPK Siswanhadono saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (7/4).
Dalam amar tuntutan Jaksa menyatakan siap mengabulkan permohonan JC Suharjito usai penyuap Edhy Prabowo itu menjadi saksi dalam sidang kasus ini dengan terdakwa lainnya. KPK sendiri telah merampungkan berkas penyidikan dan tengah menyusun berkas dakwaan Edhy dan penerima suap lainnya.
"Namun (JC) akan diberikan setelah terdakwa bersaksi untuk terdakwa lain," kata jaksa.
Jaksa KPK pun menyebutkan untuk dapat ditetapkan sebagai Justice Collaborator harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011.
Lebih lanjut dalam Peraturan Bersama Ketua KPK, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua LPSK tahun 2011, pasal 1 angka 2 menyatakan saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.
Sebelumnya, Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta menjatuhkan vonis 3 tahun penjara denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito. Penuntut Umum meyakini Suharjito telah menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo agar mendapat izin ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Menuntut supaya majelis hakim memutuskan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara berlanjut," ujar jaksa.
Dalam menyusun tuntutan Jaksa terdapat sejumlah pertimbangan. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan Suharjito tak mendukung upaya masyarakat yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara untuk hal meringankan, yakni Suharjito belum pernah dihukum, bersikap kooperatif, dan memberikan keterangan secara signifikan.
Suharjito didakwa memberikan suap kepada Edhy sebesar 103 ribu dollar AS dan Rp 706 juta. Dalam dakwaan disebutkan, Suharjito menyuap Edhy Prabowo melalui Safri dan Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi yang merupakan anggota DPR sekaligus istri Edhy Prabowo,dan Siswandi Pranoto Loe selaku Komisaris PT. Perishable Logistics Indonesia (PT. PLI) sekaligus Pendiri PT. Aero Citra Kargo (PT. ACK).
Suap diberikan Suharjito guna mempercepat persetujuan perizinan ekspor benih lobster atau benur di KKP tahun anggaran 2020. Disebutkan dalam dakwaan, uang suap digunakan oleh Edhy dan istrinya untuk kepentingan pribadi.
Suharjito didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.