Kekerasan kembali pecah ketika pasukan militer Myanmar memasuki lokasi protes pada hari Rabu ini (07/04) di kota Kale, di mana para pengunjuk rasa menuntut pemulihan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi.
Media setempat melaporkan peristiwa tersebut mengakibatkan korban luka dan korban jiwa. Outlet berita Mizzima secara spesifik menyebut setidaknya ada tiga orang yang tewas dalam kejadian ini.
Terkendala akses informasi dan komunikasi
Pembatasan akses internet dan layanan data seluler yang dterapkan hingga saat ini, membuat gerakan pemuda anti-kudeta kesulitan bergerak dalam mengatur kampanye dan arus informasi melalui media sosial.
"Myanmar telah runtuh secara bertahap ke dalam jurang informasi sejak Februari lalu," kata Alp Toker, pendiri observatorium pemblokiran internet NetBlocks mengatakan kepada Reuters. "Komunikasi sekarang sangat terbatas dan hanya tersedia untuk beberapa orang."
Pengunjuk rasa menemukan solusi untuk menyampaikan pesan mereka dengan memproduksi pamflet berita harian berukuran A4 yang dibagikan secara digital dan dicetak untuk didistribusikan ke publik.
Dr Sasa, yang memimpin pemerintahan paralel sisa-sisa pemerintahan Suu Kyi, mengatakan dalam sebuah pernyataan Selasa (06/07), penasihat hukumnya akan menyerahkan bukti kekejaman militer ke berbagai badan hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dr Sasa mengatakan pengacara untuk Komite yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) telah menerima 180 ribu barang bukti dan akan bertemu pada hari Rabu (07/04) dengan perwakilan dari mekanisme investigasi independen untuk Myanmar.
Baca juga : Dubes Myanmar untuk Inggris Diusir dari Kedutaan Negara
Menakar masa depan Myanmar
Dalam sebuah laporan yang dirilis hari Rabu (07/04), Fitch Solutions menilai, sanksi Barat tidak mungkin berhasil memulihkan demokrasi Myanmar. Dalam jangka menengah diyakini akan terjadi revolusi kekerasan antara militer dan oposisi bersenjata yang terdiri dari anggota gerakan anti-kudeta dan milisi etnis.
Fitch mengatakan, Myanmar sedang menuju negara gagal. "Meningkatnya kekerasan terhadap warga sipil dan milisi etnis menunjukkan bahwa Tatmadaw semakin kehilangan kendali atas negara," katanya, seraya menambahkan bahwa sebagian besar orang mendukung pemerintah paralel.
Sejauh ini, tekanan diplomatik tampaknya hanya berdampak kecil, karena kematian dan penahanan terhadap warga sipil terus berlanjut setiap hari.
Junta militer kehilangan kendali
Setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab di Jakarta, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan pada hari Rabu (07/04) saat ini Inggris dan masyarakat internasional tengah berupaya keras menyelesaikan krisis Myanmar.
Negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia sudah terlebih dahulu memberlakukan atau memperketat sanksi terhadap para jenderal dan jaringan monopoli bisnis pejabat militer Myanmar.
Rusia yang menunjukkan dukungan kepada dewan militer yang berkuasa di Myanmar pada hari Selasa (06/04) mengatakan, Barat berisiko memicu perang saudara di negara itu dengan menjatuhkan sanksi pada junta militer.
Baca juga : Polri Tolak Usulan TP3 Soal Pengusutan Penembakan Laskar FPI
"Faktanya, tindakan seperti itu berkontribusi mengadu domba satu pihak dengan pihak lainnya dan mendorong rakyat Myanmar menuju konflik sipil skala penuh," kata Kementerian Luar Negeri Rusia, dikutip oleh kantor berita Interfax.
Uni Eropa sedang bersiap untuk menjatuhkan sanksi kolektif pada militer Myanmar dengan menarget kepentingan bisnisnya, kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian di Paris.
"Kami akan menambahkan sanksi ekonomi di seluruh negara Uni Eropa... terhadap entitas ekonomi yang terkait dengan tentara Myanmar sehingga (sanksi) dapat diterapkan dengan sangat cepat," kata Le Drian kepada anggota parlemen.
ha/as (Reuters, AFP, AP)