REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Efisiensi dalam berkata nyatanya bukan hanya bermanfaat dalam menjaga lisan dari kebohongan, melainkan juga menjadi bagian dari etika yang patut diketahui umat Muslim.
Setidaknya terdapat etika tentang bagaimana waktu yang tepat untuk bertanya mengenai hukum-hukum Islam. Dilansir di Masrawy, Kamis (7/4), dalam sebuah hadits disebutkan:
“An Abi Hurairah Abdurrahman ibn shakrin RA qaala: sami’tu Rasulallahi SAW yaqulu: maa nahaytukum anhu fajtanibuhu wa maa amartukum bihi fa’tuu minhu maa-statha’tum fa-innama ahlaka alladzina min qablikum katsratu masaa-ilihim wakhtilafuhum ala anbiyaa-ihim.”
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
ما نَهَيْتُكُمْ عنْه فَاجْتَنِبُوهُ، وَما أَمَرْتُكُمْ به فَافْعَلُوا منه ما اسْتَطَعْتُمْ، فإنَّما أَهْلَكَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ، كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ، وَاخْتِلَافُهُمْ علَى أَنْبِيَائِهِمْ. [وفي رواية]: ذَرُونِي ما تَرَكْتُكُمْ. وفي حَديثِ هَمَّامٍ: ما تُرِكْتُمْ، فإنَّما هَلَكَ مَن كانَ قَبْلَكُمْ
‘Apa yang aku larang untuk kalian maka tinggalkanlah dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka laksanakan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan kaum sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan perselisihan terhadap para Nabi mereka.”
Imam Nawawi berpendapat dalam syarahnya mengenai hadits tersebut, bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk menghindari apa yang pernah dilarang seketika itu. Sehingga, umatnya diharapkan tidak melakukan atau mendekati perbuatan itu.
Dan Imam Nawawi juga menjabarkan maksud kalimat: “maa amartukum bihi fa’tuu minhu ma-statha’tum” Yang artinya: “Apa yang aku perintahkan kepada kalian maka laksanakan sesuai dengan kemampuan kalian.”
Maksudnya, Imam Nawawi menjelaskan, dalam beberapa hal seperti jika seseorang menemukan air wudhu yang tidak mencukupi (untuk membasuh beberapa anggota tubuh baik yang wajib maupun sunnah), maka dia harus menggunakan air itu dalam wudhu secukupnya air yang ada.
Dalam kitab Syarh Matan Al-Arbain An-Nawawiyyah fi Al-Ahadits As-Shahihah, Imam Nawawi membagi beberapa pertanyaan yang diajukan umat ke dalam beberapa bagian.
Yang pertama adalah pertanyaan dari orang-orang awam tentang kewajiban agama, seperti sholat, puasa, dan lainnya. Pertanyaan semacam ini adalah wajib. Ini sebagaimana sabda Nabi: طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة “Menuntut ilmu wajib bagi Muslim dan Muslimah.”
Yang kedua adalah pertanyaan dalam rangka mendalami agama, bukan untuk pekerjaan tertentu seperti peradilan dan fatwa yang mana hukumnya adalah fardhu kifayah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat At Taubah penggalan ayat 122:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ “Falaw laa nafara min kulli firqatin minhum thaa-ifatun liyatafaqqahuu fiddini.”