Jumat 09 Apr 2021 06:16 WIB

Kasus Km 50, Komisi III Desak Polri Buka-bukaan

Polri diharapkan belajar dari TNI yang mengusut kasus penculikan oleh Tim Mawar.

Rep: Rizky Suryarandika, Ali Mansur / Red: Ilham Tirta
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR mendesak Polri transparan dalam penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap anggota laskar Front Pembela Islam (FPI). Komisi III menyayangkan sikap Polri yang terkesan menutupi kasus pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) tersebut.

Anggota komisi hukum tersebut, Arsul Sani berharap Polri memberikan informasi soal perkembangan kasus Km 50 secara berkelanjutan. Sebab, hingga saat ini Polri bahkan belum mengumumkan inisial para tersangka. Publik menantikan sikap adil Polri dalam menindak anggotanya sendiri yang tersandung kasus pelanggaran HAM.

"Komisi III meminta agar perkembangan proses hukum terhadap tiga anggota Polri yang diduga melakukan unlawful killing bisa disampaikan secara berkelanjutan, khususnya tentu yang menyangkut dua anggota yang sedang diproses," kata Arsul pada Republika, Kamis (8/3).

Bareskrim Polri pada Selasa (6/4), mengumumkan status tersangka terhadap tiga anggota Polda Metro Jaya terlapor kasus pembunuhan empat dari enam laskar FPI di Km 50 Tol Jakarta Cikampek pada Desember 2020. Namun, Bareskrim tidak menjelaskan siapa saja dua tersangka tersebut dan juga tidak menahan keduanya. Sementara, penyidikan terhadap tersangka berinisial EPZ dihentikan dengan klaim telah meninggal dunia.

Ketiga tersangka dikenakan Pasal 338 junto Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Kedua pasal itu mengancam para tersangka dengan hukuman di atas 5 tahun penjara. Lazimnya, tersangka dengan hukuman tersebut akan ditahan sesuai ketentuan Pasal 21 ayat 4 KUHP.

"Ini masih kita melihat tersangka apakah ditahan, nanti akan dilakukan oleh penyidik," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono saat pengumuman tersangka pada Selasa. Kemarin, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono tidak menjawab konfirmasi Republika terkait penanganan lebih lanjut terhadap para tersangka tersebut.  

Arsul pun mempertanyakan langkah Polri yang tak kunjung menahan para tersangka. Ia mengimbau Polri bersikap bijaksana, profesional, dan transparan dalam penyidikan kasus tersebut.

Ia juga mengingatkan kasus ini selalu menjadi sorotan publik sehingga segala tindak tanduk Polri tak luput dari mata masyarakat. "Ini kasus yang mendapatkan perhatian luas dari masyarakat, khususnya umat Islam, sehingga keterbukaan Polri juga selalu diharapkan," ujar politisi PPP itu.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin Al Rahab mengatakan, Komnas HAM selalu mengusulkan agar Polri dapat membuka tabir seluas-luasnya dalam kasus ini kepada masyarakat. Namun usulan Komnas HAM hanya menjadi angin lalu karena tak kunjung didengar Polri.

"Komnas terus mencermati dan mendesak Polri bisa transparan dalam melakukan proses penyidikan," kata dia, kemarin.

Soal langkah Polri yang tak menahan tersangka, ia menilai itu memang hak mereka. Polri bisa mengeluarkan argumen apa saja guna membenarkan langkah yang mereka ambil. Publik, kata dia, pada tahap ini sebaiknya memberi kepercayaan lebih dulu pada Polri. "Tentu kita berharap polisi bisa dengan cepat kerjanya, agar publik bisa menilai," kata dia.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menyarankan Polri mengambil pelajaran dari TNI dalam pengusutan kasus Km 50. TNI dianggap punya sejarah soal penanganan kasus serupa, yaitu kasus penculikan dan membunuh para aktivis anti pemerintahan Soeharto. Para anggota tim Mawar sudah dijatuhi hukuman.

"Kepolisian harusnya belajar pada TNI dalam kasus tim Mawar pasca 1998 lalu," kata Bambang, kemarin.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement