REPUBLIKA.CO.ID, Isitilah ‘Banyak Anak Banyak Rezeki’ mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ditambah budaya komunal, tradisi hidup secara bergotong royong yang lekat membuat masyarakat Indonesia menjadi kurang mandiri dan cenderung mengharapkan bantuan dari orang-orang terdekat, termasuk orang tua pada anaknya.
Fenomena yang banyak ditemui adalah ketika anak dijadikan jaminan kesejahteraan orang tuanya pada masa tua. Karena ketika sang anak telah sukses, dia akan diandalkan untuk memenuhi segala kebutuhan orang tuanya ketika mereka tua. Hal ini tentu sejalan dengan pemikiran kuno tadi, yang menganggap bahwa semakin banyak anak, maka beban yang akan ditanggung orang tua akan semakin ringan.
Namun, seiring berkembangnya zaman, jumlah anak mulai dibatasi. Pada 1957 akhir, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membentuk Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) untuk membatasi angka kelahiran, meski masih secara diam-diam. Setelah Soeharto menjabat, program pembatasan kelahiran ini dilegalkan bersamaan dengan didirikannya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 1970.
Keluarga Berencana (KB) ideal ala Orde Baru adalah keluarga kecil dengan dua anak. Jargon utama KB adalah 'Dua anak cukup, laki-laki atau perempuan sama saja'.
Beberapa patung peninggalan Orde Baru bahkan menggambarkan itu. Tak hanya patung sepasang laki-laki dan perempuan menggandeng dua anak, sering kali salah satu patung mengacungkan dua jari. Akibatnya, prinsip ‘banyak anak banyak rezeki’ mulai dianggap tidak lagi relevan di banyak keluarga muda Indonesia, ditambah budaya komunal yang semakin ke sini semakin memudar.
Baca juga : Cek Imun Tubuh Terhadap Covid-19 dengan Serologi Kuantitatif
Meski begitu, persoalan lain yang ditemui adalah kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana pensiun, dapat dibuktikan dengan munculnya istilah ‘generasi roti lapis’ (sandwich generation), yaitu sebutan bagi generasi yang harus hidup terjepit, karena selain harus memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, dia juga harus memenuhi kebutuhan orang tuanya.
Menurut Ligwina Hananto, Lead Financial Trainer di Quantum Magna (QM) Financial, ada satu cara yang harus dilalui saat menjadi sandwich generation, yaitu menerima kenyataan terlebih dahulu karena menjadi sandwich generation tidak semuanya berkonotasi negatif. Justru, masih banyak anak-anak muda yang menerima tanggung jawab tambahan ini dengan lapang dada dan tidak menjadikannya sebagai beban. Bahkan, mereka bersedia bekerja lebih keras untuk menghidupi kebutuhan orang tuanya, di samping kebutuhan keluarga intinya.
“Menariknya, hampir semua yang saya temui juga menjawab tidak ingin fenomena sandwich generation ini terulang pada generasi berikutnya,” ujarnya.
Keinginan inilah yang membuat persiapan dana pensiun bagi generasi muda menjadi topik yang penting untuk dibahas, ditambah masih rendahnya keinginan untuk mengumpulkan dana pensiun, terutama bagi mereka yang baru menginjak usia 20-an. Hal ini, kata Wina, dikarenakan dana pensiun, atau biasa disebut ‘tabungan hari tua’, masih kurang populer, terlebih bagi generasi milenial yang lebih cenderung memprioritaskan tujuan finansial jangka pendek atau menengah dibanding jangka panjang.
“Time horizon jangka panjang belum mendapat perhatian besar di masyarakat sehingga orang Indonesia lebih banyak mengesampingkan, dan cenderung menyiapkan dana pensiun saat sudah keburu tua, mepet,” ujar Ligwina kepada Republika.co.id, Kamis (8/4).
“Program persiapan pensiun di berbagai perusahaan dan instansi besar juga cenderung dilakukan mendekati usia pensiun. Padahal, semakin dini persiapan kita, akan semakin baik pula hasilnya,” sambung perencana keuangan independen ini.
Baca juga : Kabar Baik! Warga di Kota Ini Boleh Melakukan Perjalanan
Meski begitu, langkah yang dapat dilakukan bagi mereka yang telanjur menjadi generasi ‘roti lapis’ adalah menghitung arus keuangan, baik pengeluaran dari keluarga utama maupun pengeluaran keluarga tambahan (orang tua). Selanjutnya adalah pengklasifikasian jenis biaya, apakah termasuk dalam pengeluaran rutin atau insidental (tak terduga).
“Kedua, tentukan cara untuk membayarkan biaya tambahan ini, apakah cukup dari penghasilan utama? Ataukah perlu meminta bantuan pasangan? Atau mungkin mencari usaha sampingan,” kata Wina menambahkan.
“Ketiga, coba diskusikan dengan keluarga besar. Jangan sok menjadi superhero yang siap membayarkan semuanya. Tanggung jawab menafkahi anak kandung juga harus tetap dilakoni. Maka, berbagi tanggung jawab membiayai ortu, bersama kakak-adik atau keluarga lain akan sangat membantu,” ujarnya menyarankan.
Adapun saran bagi para milenial yang masih memiliki orang tua yang produktif, masih aktif bekerja, yang perlu dilakukan adalah mulai membuka obrolan mengenai pentingnya mempersiapkan dana pansiun, kata Wina. Meski memulai diskusi finansial tidak selalu mudah dilakukan, dengan kehati-hatian dan kesabaran, kemungkinan orang tua untuk mengerti dan lebih terbuka juga akan besar, ujarnya.
“Diskusi finansial ini tidak selalu mudah dilakukan di dalam keluarga. Jadi, perlu kehati-hatian dan kesabaran agar para orang tua yang saat ini produktif dapat memahami akan pentingnya mempersiapkan dana pensiun, dan tidak mendadak,” ucapnya.