Jumat 09 Apr 2021 13:26 WIB

Peluang dan Potensi Asuransi Syariah di Tengah Pandemi

Potensi asuransi syariah sejalan dengan meningkatnya kesadaran milenial berinvestasi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
ilustrasi polis asuransi
Foto: change.org
ilustrasi polis asuransi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah berdampak ke semua sektor termasuk industri keuangan syariah, tidak terkecuali asuransi syariah. Meski mengalami pertumbuhan kontribusi, beberapa indikator menunjukkan perlambatan. 

Konstribusi bruto asuransi jiwa syariah sepanjang 2020 tercatat sebesar Rp 14.845 miliar naik dari Rp 13.922 miliar dibanding tahun 2019. Namun secara aset turun dari Rp 37.487 miliar di tahun 2019 menjadi Rp 36.317 miliar di tahun 2020.  

"Secara umum, industri asuransi syariah mencatatkan pertumbuhan kontribusi sepanjang 2020, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Indokator kinerja lainnya seperti aset dan investasi mengalami perlambatan," kata Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Sutan Emir Hidayat, Kamis (8/4). 

Emir mengatakan, rata-rata kerugian yang dialami industri asuransi secara global sebesar 35 persen dari kapitalisasi pasar setelah pandemi Covid-19 melanda dunia. Penurunan signifikan terjadi pada Hasil Investasi seiring dengan anjloknya kinerja pasar modal sepanjang tahun 2020.

Di sisi lain, Emir melihat, industri asuransi syariah di Indonesia masih memiliki peluang dan potensi yang besar untuk bertumbuh. Hal tersebut didukung oleh meningkatnya proporsi jumlah penduduk Muslim kategori milenial yang mulai sadar berinvestasi syariah. Berdasarkan survei, minat milenial berasuransi syariah juga naik dari 40 persen menjadi 58 persen.

Selain itu, menurut Emir, pertumbuhan asuransi syariah juga ditopang oleh meningkatnya ghiroh ke-Islaman penduduk Muslim Indonesia dalam mengadopsi jasa keuangan syariah, termasuk asuransi syariah yang mulai dilirik sebagai alternatif asuransi konvensional. Survei yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia, secara rata-rata ada sekitar 73 persen masyarakat yang berminat memiliki asuransi syariah.

Dalam tiga tahun ke depan, Emir mengatakan, potensi bisnis asuransi jiwa syariah diperkirakan meningkat menjadi sekitar Rp 9,6 triliun hingga Rp 10 triliun. Dari total potensi tersebut, berdasarkan survei, sekitar 81 persen berasal dari kalangan Muslim dan 19 persen dari Non Muslim.

Industri asuransi syariah juga mendapatkan efek domino dari layanan syariah Tapera dan Jamsostek. Selain itu, asuransi syariah juga mendapat efek domino dari Qanun Syariah di Aceh serta merger Bank Syariah Indonesia (BSI) & perbankan yang berkonversi menjadi Bank Umum Ssyariah (BUS) yang tentu memerlukan mitra asuransi syariah.

"Di samping itu, meningkatnya digitalisasi industri sektor keuangan Syariah dapat menjadi momentum bagi industri asuransi syariah untuk memasarkan produk yang lebih efisien dan efektif kepada target market Muslim," terang Emir.

Untuk menangkap peluang yang ada, Emir mengatakan pemangku kepentingan di industri asuransi yariah harus terus berupaya meningkatkan literasi dan pemahaman tentang asuransi syariah. 

Pemangku kepentingan juga harus meningkatkan kapasitas reasuransi syariah. Hal tersebut penting karena seluruh perusahaan asuransi dan unit usaha syariah, baik umum maupun jiwa, akan mengelola risikonya melalui reasuransi syariah.

Perusahaan asuransi juga harus melakukan transformasi digital produk-produk asuransi syariah (Insurtech) sehingga dapat mendorong penggunaan teknologi yang tangguh untuk menghadirkan akses layanan asuransi syariah yang masif, luas, murah dan akurat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement