Sabtu 10 Apr 2021 13:42 WIB

Doa Sudah Cukup, Waktunya Bertindak

Penembakan massal ketujuh di tahun 2021 ini terjadi di Amerika Serikat.

Rep: Peter Marsh/ Red:
Presiden Joe Biden membatasi kepemilikan senjata api di Amerika Serikat
Presiden Joe Biden membatasi kepemilikan senjata api di Amerika Serikat

Sehari sebelum Presiden Joe Biden mengumumkan pembatasan baru mengenai senjata api, penembakan massal ketujuh di tahun ini terjadi di Amerika Serikat.

Rencana untuk mengumumkan aturan baru sudah ada sebelum mantan atlet NFL membunuh lima orang di South Carolina.

Penembakan tersebut mengorbankan lebih banyak korban jiwa akibat penembakan massal di tahun 2021 menjadi 38 orang. Menurut Joe Biden, hal ini bagaikan 'epidemi'.

Usaha menangani 'ghost gun'

Beberapa pembatasan yang akan dilakukan adalah:

  • Menindak keras senjata tanpa nomer seri yang dirakit sendiri, atau 'ghost gun'
  • Perubahan kategori pistol yang memiliki stabiliser menjadi senapan laras pendek
  • Janji untuk membuka lebih banyak data lebih banyak soal penjualan senjata
  • Lebih banyak program intervensi pencegahan kekerasan di kalangan warga

Karena 'ghost gun' dibuat sendiri yang dirakit dari beberapa bagian dan tidak memiliki nomor seri menjadikannya sulit untuk dilacak. 

Di Amerika Serikat, perakitan "ghost gun" di rumah sah secara hukum dan pengecekan latar belakang pembeli tidak diberlakukan.

Aturan baru yang diumumkan oleh Presiden Joe Biden mengharuskan adanya nomor seri dan pembeli harus dicek latar belakangnya.

Aturan baru mengenai pistol sebagai senjata laras pendek, yang dapat mengubah pistol menjadi senapan, berarti pembelinya harus memiliki lisensi dari tingkat federal dan dicek identitasnya dengan lebih ketat.

Tapi perjalanan aturan ini masih jauh

Selama kampanye pemilihan presiden tahun 2020, Joe Biden pernah menjanjikan pembatasan yang lebih ketat guna memerangi masalah kekerasan bersenjata.

Meski perintah eksekutif Presiden Biden terbatas, namun kalangan yang mendukung pembatasan senjata menyambutnya.

"Setiap langkah eksekutif ini akan membantu mengatasi masalah kekerasan bersenjata yang sudah berlangsung di tengah pandemi dan menunjukkan janji Presiden Biden untuk menjadi presiden pendukung keamanan bersenjata paling kuat dalam sejarah," kata John Feinblatt presiden Everytown for Gun Safety.

Dalam kampanye di tahun 2020, Presiden Amerika Serikat tersebut berjanji untuk mengambil langkah tegas dalam mengatasi masalah kekerasan akibat senjata di negara tersebut.

Rencana yang tercatat di situsnya ini menjanjikan langkah komprehensif, seperti larangan senjata dan rencana untuk membeli kembali senjata yang dijual di pinggir jalan Amerika.

Rencana ini juga mengusulkan pengecekan latar belakang dari penjualan senjata dan larangan penjualan senjata dan amunisi secara online.

Namun, aturan yang sudah ada saat ini masih jauh karena kenyataan politik yang akan dihadapi Presiden Biden di Kongres.

Aturan baru ini disahkan melalui perintah eksekutif, kemampuan khusus yang dimiliki presiden Amerika Serikat untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan Kongres.

Namun perintah eksekutif ini terbatas dan tujuan ambisius ini harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat AS dan Senat.

Hari ini, ia mengatakan ia tidak akan "menyerah" dalam mencapai tujuannya tersebut.

"Ada banyak lagi hal yang dapat dilakukan Kongres untuk mendukung usaha ini. Dan mereka dapat melakukannya sekarang," tegas Biden.

"Mereka menyatakan dukacita dan mendoakan, para anggota Dewan ini, namun tidak pernah meloloskan satu hukum federal pun untuk mengurangi kekerasan akibat senjata," katanya.

Penembakan massal sejak Biden berkuasa

Sebelum dilantik menjadi presiden 20 Januari lalu, Presiden Biden sudah mengatakan Amerika Serikat menghadapi "empat krisis bersejarah dalam waktu bersamaan", yaitu pandemi virus corona, ekonomi, perubahan iklim dan keadilan bagi semua ras.

Ia berjanji empat hal tersebut akan ditanganinya dengan serius ketika menjadi presiden.

Hari ini Biden mengumumkan krisis baru lagi, yaitu adanya tujuh penembakan massal dalam delapan minggu terakhir.

Tiga penembakan di bulan Februari (di Florida, Oklahoma dan Minnesota) menyebabkan kematian 10 orang.

Tanggal 16 Maret, penembakan di tiga spa di negara bagian Georgia memicu amarah akibat tindak kekerasan terhadap warga Asia yang mengakibatkan delapan orang tewas.

Enam hari kemudian terjadi penembakan di sebuah supermarket di Colorado di mana 10 orang tewas.

Dan seminggu kemudian empat orang tewas (termasuk seorang anak) dalam penembakan di kawasan perkantoran.

Dan sehari sebelum Biden berencana mengumumkan pembatasan soal senjata, mantan bintang NFL, Phillip Adams, menembak mati lima orang, yakni seorang dokter dan istrinya, dua cucunya dan Adams sendiri.

Rangkaian penembakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Amerika yang baru akan keluar dari pandemi COVID, sekarang masuk ke dalam krisis lainnya.

Sebelumnya, mantan presiden Barack Obama sudah memperkenalkan pengecekan latar belakang universal, larangan senjata, dan larangan senjata beramunisi tinggi.

Rancangan Undang-undang sempat sampai pada meja Senat AS, namun gagal memenangkan 60 dukungan yang dibutuhkan untuk bisa disahkan.

Menyebut larangan penggunaan senjata tersebut sebagai penyebab "frustasi terbesar" dalam masa kepemimpinannya, Obama menggunakan hperintah eksekutifnya untuk melangkahi Kongres dan menandatangani perintah untuk memperketat aturan ketika membeli senjata, serta memperketat cek latar belakang.

Namun perintah ini tidak membawa perubahan besar sebagai tindakan untuk mengurangi kekerasan senjata.

Donald Trump kemudian membatalkan salah satu perintah ini, yang kemudian melarang warga dengan gangguan kesehatan mental untuk membeli senjata.

Perintah eksekutif Presiden Biden ini sudah mendapat kritikan dari Partai Republik dan juga pendukung hak memiliki senjata.

Asosiasi Rifle Nasional (NRA) organisasi kepemilikan senjata terbesar di sana mengatakan akan menentang perintah eksekutif Biden di pengadilan.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari artikel di ABC News

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement